Sial, lagi-lagi saya kecewa..
Pengalaman saya dalam dunia
teater tidak bisa dipisahkan dari Komunitas
Teater Koma. Pertunjukan teater yang
pertama kali saya tonton merupakan pertunjukan dari Teater Koma yang sekaligus
menimbulkan rasa cinta saya pada seni pertunjukan. Guru teater saya yang
pertama kali dan yang benar-benar membuat saya memiliki gairah untuk bergelut
di dunia teater juga berasal dari Teater
Koma. Banyak hal yang secara tidak langsung saya pelajari dari teater yang
saya yakini merupakan garda depan Teater Indonesia.
Kali ini saya akan melakukan
sedikit review mengenai pementasan
dari Teater Koma dengan lakon Republik Cangik yang baru saja saya tonton. Sebelumnya saya meminta
maaf apabila saya terkesan begitu lancang atau terlalu sok untuk mengkritisi.
Setelah beberapa kali menonton
pertunjukan dari Teater Koma, saya
menyadari bahwa saya selalu memiliki harapan yang sangat tinggi terhadap
komunitas ini. Sebelum menonton pertunjukan, secara tidak langsung saya sudah
memiliki anggapan bahwa pertunjukan kali ini bakal keren, bakal lebih hebat dan
lebih “wah” dari sebelumnya. Harapan yang sangat tinggi ini pulalah yang
membuat saya begitu kecewa di akhir pertunjukan. Di pertunjukan sebelumnya (Mother of Courage) saya juga mengalami
kekecewaan yang sama karena pertunjukan tidak seperti yang saya harapkan, saya
memang mengharapkan hal yang lebih.
Di Republik Cangik saya membayangkan pasti tidak jauh dari Republik Petruk yang penuh dengan
kemegahan dan pemanggungan yang hebat serta didukung keaktoran yang lebih dari
memadai. Sialnya lagi-lagi saya terlalu berharap lebih. Ada satu hal yang
selalu saja saya temui dalam beberapa
pementasan Teater Koma yaitu para aktor yang berada di panggung terlihat
sangat ingin ditertawakan. Dalam Republik
Cangik saya melihat pemeran Limbuk
yang berkali-kali memainkan tetek besar
dan pantat besar, gesture dari Cangik
baik itu gaya berjalan, gaya berbicara semuanya terlihat lucu yang
dilucu-lucukan seolah-olah sedang berhadapan dengan anak TK yang membutuhkan
hiburan. Pemeran Batara Narada yang
selalu mengeluarkan bunyi yang sama sebelum dialog dan bergaya ala reggae, celetukan-celetukan dari para
penari latar seperti kata keles atau
sejenisnya yang sedang in di kalangan anak muda semuanya terlihat begitu
ingin ditertawakan hingga menjadi komedi-komedi slapstick yang seharusnya tidak perlu. Dan anehnya hampir semua
karakter memiliki gesture yang tujuannya untuk bahan lucuan.
Dari segi pemanggungan, terlihat
sedikit aneh. Pemain musik yang ditempatkan di panggung otomatis menjadikan
lebar panggung berkurang hampir setengah. Secara artistik memang keren bisa
membagi panggung menjadi dua dimensi namun saya malah melihat sebagai
ketidakmampuan untuk memainkan panggung dengan ukuran yang lebih lebar dan
disiasati dengan mengecilkan panggung dengan cara yang lebih baik.
Ada satu jenis properti yang menurut saya
terkesan dipaksakan yaitu pistol yang digunakan oleh para tentara. Pistol yang
digunakan memang keren baik dari bentuk maupun dari suara yang dihasilkan. Namun
lagi-lagi saya melihat mereka (prajurit) yang memainkan pistol terlihat seperti
sekelompok anak-anak yang sedang bermain-main dengan sebuah benda yang bisa
mengeluarkan suara keras dan menjadi hiburan bagi mereka. Kurang terlihat
adanya penyatuan antara aktor dengan hand
property yang digunakan.
Penggunaan pistol tersebut sudah
saya lihat beberapa kali dalam pementasan Teater
Koma hingga saya punya pikiran aneh, sepertinya memasukkan konsep
pistol-pistolan ke dalam pementasan bukan karena konsep tersebut dibutuhkan
namun karena bisa dilakukan. Maksud saya, saya kurang melihat adanya keharusan properti
pistol digunakan dengan suara yang fungsinya tidak lebih membangunkan mereka
yang sedang tertidur. Begitu pula halnya dengan kuda yang dinaiki oleh salah
seorang kandidat Maharaja yang tentunya merepresentasikan Prabowo lagi-lagi saya tidak melihat adanya keharusan dia menaiki
kuda tersebut. Sepertinya penggunaan properti kuda yang pada dasarnya sangat
keren secara artistik bukan karena diperlukan dalam pementasan ini namun karena
Teater Koma memiliki properti kuda seperti yang digunakan
pada pementasan sebelumnya (Sie Jin Kwe)
Dari segi cerita, lagi-lagi saya
kecewa. Menurut saya cerita ini sudah bukan
pada masanya karena pada dasarnya pementasan ini hanyalah menceritakan mengenai
pemilihan presiden yang baru saja lewat. Tokoh-tokoh dengan nama diplesetkan
menimbulkan kecenderungan pada penonton untuk menebak-nebak siapakah tokoh
tersebut dalam dunia sebenarnya. Tokoh penyebab terjadinya lumpur lapindo, penyanyi
yang ingin jadi presiden, orang yang ada di belakang pencalonan Jokowi dan hal-hal serupa lainny. Naskah
yang ingin mengkritisi keadaan politik Indonesia dengan cara yang terlalu
vulgar. Secara garis besar naskah ini meceritakan kondisi Indonesia dengan
tokoh-tokoh yang namanya diplesetkan. Hanya itu saja. Tidak ada bedanya dengan teks
anekdot. Hanya saya naskah ini memiliki durasi yang panjang dan ditulis oleh
sastrawan.
Adegan penutup, juga menampilkan
pesan yang sangat gamblang. Aktor menyatakan pesan-pesan secara langsung kepada
penonton. Secara menyeluruh, menurut
saya pertunjukan Republik Cangik
terlihat begitu membosankan dan penonton sangat menunggu kapan selesainya
pertunjukan. Hal ini terlihat karena para aktor tidak bermain dari hati. Padahal
dari segi jam terbang, tentunya para aktor memiliki pengalaman yang lebih dari
cukup. Entahlah, saya melihat para aktor seperti melakukan suatu rutinitas.
Review ini saya tulis sebagai bentuk kekecewaan terhadap
pertunjukan sebuah komunitas teater yang pernah saya agungkan. Saya menyadari
bahwa saya sangat lancang dan kurang ajar untuk menulis hal ini, oleh karena
itu saya meminta maaf sebelumya. Saya masih sangat berharap bisa menikmati
pertunjukan Koma yang hebat di kemudian hari.
Salam budaya.
Sumihar
Deny
No comments:
Post a Comment