Wednesday 20 November 2013

Mencari Nama

Aku orang yang sangat pintar. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh ibuku padaku. Aku juga orang yang sangat pemberani, setidaknya itu juga yang dikatakan oleh ayahku sejak aku masih kecil. Seorang anak yang baik harus menuruti dan mengiyakan kata orangtuanya, dengan alasan itulah maka aku percaya kalau aku orang yang sangat pintar dan pemberani. Tidak ada satupun soal matematika yang menghalangiku untuk mengerjakan PR karena aku pintar tentunya, dan tidak ada satupun setan atau hantu yang dapat membuatku takut keluar di malam hari untuk membeli sebungkus rokok buat ayahku, kan aku pemberani. Setiap kali aku merasa takut untuk membelikan ayahku sebungkus rokok, ayahku selalu berkata “Nak, seumur hidup bapak, baru kali ini bapak menemukan seorang anak yang sangat pemberani, dan betapa beruntungnya bapak, karena dia itu anak ayah sendiri, hahahaha, kamu tidak takut pada hantu bukan?” Anehnya, setiap kali ayahku mengatakan hal itu tiba-tiba semua rasa takutku hilang ditelan mantra-mantra itu. Dan dengan segera sebungkus rokok itupun sudah dibakar dan dihisap oleh ayah sambil mengelus-elus rambutku. Ada rasa bangga bisa membantunya dalam hal menjalankan hobinya. Ayahku seorang perokok berat dan aku seorang pembeli rokok berat untuknya. Setiap malam, aku selalu mengerjakan tugas matematika, IPA, IPS, Bahasa indonesia dan masih banyak lagi. Semua itu kukerjakan sendiri dan tanpa campur tangan orang lain. Ibuku hanya menyebutkan jawaban dan akulah yang menuliskannya ke dalam sebuah buku tulis yang bersampulkan power rangers. Aku selalu mendapatkan nilai yang bagus dalam pekerjaan rumah. Tentunya itu hasil jerih payahku. Toh ibuku hanya menyebutkan jawabannya saja, kan aku juga yang menuliskannya di buku itu. Aku memang sangat pintar. Tapi aku merasa ada hal yang aneh. Kalau aku memang sangat pintar, kenapa ya aku tidak diikutkan dalam lomba cerdas cermat? Dan kenapa tiap penerimaan raport aku tidak pernah mendapatkan buku tulis buat sang juara itu? Padahal aku sangat menginginkannya. Saat kukatakan pada ibuku kalau aku sangat menginginkan buku itu, dia membelikan aku selusin buku yang sama persis dengan buku tulis buat sang juara itu. Lalu dengan bangga kupamerkan buku itu pada teman-temanku. Dan dengan sombong ku berkata “Tidak perlu jadi juara satu kalau hanya untuk mendapatkan buku tulis”

No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...