Monday 4 November 2013

Review Pementasan Teater Koma "Sampek Engtay"

Lakon dari Teater Koma yang pertama kali saya tonton dan membuat saya jatuh hati dengan komunitas teater ini ialah Republik Petruk yang tentunya disutradarai oleh Bapak Nano Riantiarno. Begitu banyak hal yang membuat saya tercengang dan berdecak kagum melihat pertunjukan tersebut. Dimulai dari setting panggung, artistik, kostum, make up,  serta keaktoran semuanya membuat saya tercengang. Pementasan tersebut cukup membekas bagi saya dan beberapa rekan. Akibatnya topik obrolan-obrolan tidak jauh berkisar dari pementasan Teater Koma dengan lakon Republik Petruk. Untuk selanjutnya saya dan beberapa rekan selalu berusaha agar dapat menonton pementasan-pementasan dari Teater Koma. Saya mengakui bahwa saya sendiri jatuh hati dengan pementasan-pementasan dari Teater Koma dan berniat membuat suatu pementasan teater dengan kualitas yang yang sama atau bahkan lebih. Amin.

Baru-baru ini, saya kembali menonton pementasan dari Teater Koma, kali ini dengan lakon Sampek Engtay. Sesuai dengan harapan saya sebelumnya, saya sudah sangat yakin bahwa nantinya pementasan ini akan membuat saya berdecak kagum dan kembali tercengang dan terpesona dengan gaya permainan mereka. Namun kali ini pementasan Teater Koma dengan lakon Sampek Engtay menurut saya kurang memuaskan dan jauh dari apa yang saya harapkan. Sebagai seseorang yang baru bergelut dalam bidang teater, mungkin kurang layak bagi saya untuk menyatakan pendapat mengenai sebuah pementasan yang besar. Namun hal itulah yang saya alami disaat menyaksikan pementasan tersebut dan menurut saya tidak ada salahnya memberikan sedikit review mengenai pementasan tersebut.
Ada beberapa beberapa hal yang akan saya bahas mengenai pementasan tersebut dan kenapa saya menyatakan bahwa pementasan tersebut kurang memuaskan.
Lakon Sampek Engtay yang dimainkan Teater Koma merupakan saduran dari legenda Cina mengenai tragedi romantika antara dua kekasih Sampek, Engtay. Lakon ini dimainkan dengan setting di Indonesia versi Melayu Tionghoa sekitar tahun 1860-an. Mengutip salah satu dialog dari narator yang menyatakan bahwa masa itu 50 tahun setelah pemerintahan Daendels maka gambaran masa pada lakon tersebut sekitar tahun 1860-an (masa pemerintahan Daendels di Indonesia 1808-1811). Lakon ini menceritakan tentang kisah cinta sepasang kekasih yang bernama Sampek dan Engtay. Engtay ialah seorang gadis muda dari Serang Banten, putri tunggal dari keluarga Ciok dan memiliki keinginan belajar yang kuat. Pada masa tersebut kaum wanita dianggap kurang penting untuk mengikuti pendidikan. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman bahwa tugas seorang wanita ialah melayani suami dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Akhirnya Engtay menyamar menjadi seorang laki-laki dan pergi ke Betawi untuk belajar. Dalam perjalanannya, ia berkenalan dengan Sampek dan memutuskan diri menjadi saudara angkat. Di sekolah Engtay mulai jatuh cinta dengan Sampek. Tepat di saat Sampek mulai menyadari bahwa Engtay adalah seorang wanita dan mulai menyukainya ayah Engtay meminta Engtay untuk pulang dikarenakan urusan perjodohan antara Engtay dengan Macun putra Kapten Liong. Mengetahui bahwa Engtay telah dijodohkan oleh orangtuanya, Sampek tidak bisa menerima kenyataan hingga jatuh sakit dan mati. Sedangkan Engtay, tepat dihari pernikahannya bunuh diri dengan cara melompat ke kuburan Sampek. Dan jiwa mereka dilahirkan kembali sebagai sepasang kupu-kupu yang terbang bersama.
Kurang lebih demikianlah sinopsis dari lakon Sampek Engtay. Dilihat dari sinopsisnya tentunya ini adalah sebuah drama tragedi yang tidak jauh berbeda dengan lakon Romeo and Juliet karangan Shakespeare atau Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yaitu cinta tidak sampai dimana pasangan kekasih akhirnya meninggal dunia.
Menurut Glickberg “All literature, however fantastic or mystical in content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work. Pendapat di atas menyatakan bahwa seperti apapun bentuk karya sastra baik itu fantastis atau mistis sekalipun tentunya akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada pada lingkungan masyarakat. Jadi, kejadian-kejadian dalam lakon manapun tentunya merupakan suatu representasi dari suatu kejadian yang pernah terjadi dalam suatu komunitas masyarakat tentunya dengan adanya tambahan dari pengarang yang bertujuan untuk meningkatkan daya tarik pada naskah.
Jika dilihat pada pementasan tersebut, tentunya sutradara berhak atas apa yang hendak dipentaskannya dan penonton juga berhak memberikan komentar terhadap apa yang dilihatnya. Menurut pengamatan saya sendiri, banyak adegan pada lakon tersebut yang bertujuan untuk membuat penonton tertawa sehingga penonton sedikit rasa yang seharusnya disampaikan pada tiap-tiap adegan. Selain adanya adegan dengan tujuan membuat penonton tertawa beberapa dialog dari pemain yang langsung terhadap penonton (mirip dengan lenong) menurut saya terkesan dipaksakan karena lagi-lagi hal ini dimaksudkan untuk memancing tawa dari penonton. Memang benar, salah satu fungsi karya sastra ialah menghibur (tertawa) namun tertawa yang tidak pada tempatnya adalah suatu hal yang aneh. Penonton atau pembaca yang tertawa, seharusnya tertawa di adegan yang seharusnya penonton tertawa atau di bagian yang lucu. Namun jika penonton tertawa pada adegan yang seharusnya tegang ataupun sedih tentunya ada suatu kesalahan komunikasi antara penonton dengan apa yang ditonton.
Salah satu contohnya ialah adegan awal dimana narator menyatakan bahwa setting tempat adegan itu terdapat di Betawi. Pernyataan bahwa adegan setting tempat di Betawi dikomentarin oleh aktor lain (kalo tidak salah Om Dudung) yang muncul sebagai diri sendiri bukan sebagai aktor dalam lakon. Menyatakan bahwa harusnya naskahnya berlatarkan negeri Cina, hal ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa dia beserta aktor-aktor lain sudah memakai kostum-kostum dengan latar kebudayaan Cina. Tentunya cara di atas adalah penjelasan secara tidak langsung dari sutradara yang menyatakan bahwa naskah tersebut diadaptasi ke dalam kehidupan Indonesia, mungkin tujuannya agar penonton yang merupakan mayoritas orang Indonesia merasa lebih dekat dengan pementasan itu sendiri. Namun dialog yang dimunculkan pada adegan tersebut terlihat sangat ingin membuat penonton tertawa.
Pada adegan yang lain, dimana bujang dari Sampek hendak mengantarkan surat kepada Engtay muncul lagi sebuah tontonan dimana para aktor kembali menjadi dirinya sendiri dan berbicara seolah-olah berdiskusi mengenai apa yang sedang mereka lakukan. Di saat bujang dari Sampek hendak menyerahkan surat, salah seorang pembantu dari Engtay menyatakan kurang lebih begini “Om Dudung, bagaimana sih? Bukannya harusnya burung nuri yang menyampaikan suratnya? Kenapa Om Dudung sendiri yang mengantarkan suratnya?. Pada adegan ini, bujang dari Sampek kembali menjadi dirinya sendiri dan menjelaskan kenapa bukan burung nuri yang mengantarkan surat. Dengan gaya yang kocak dia menyatakan bahwa burung nurinya sudah diajari akting dan seharusnya mengantarkan surat dari Sampek ke pada Engtay, namun burung nuri tersebut tiba-tiba sakit flu sehingga berhalangan mengantarkan surat tersebut. Menurut saya adegan ini sangat menyita waktu dan lagi-lagi bertujuan agar penonton tertawa. Dalam pementasan ini kerap terjadi dimana aktor-aktor menjadi dirinya sendiri dan berpura-pura diskusi atau menegor lawan main dengan motivasi bahwa lawan main melakukan suatu kesalahan. Banyaknya adegan-adegan seperti ini lagi-lagi terlihat adanya motivasi dari para aktor yang mengharapkan penonton tertawa. Selain kembalinya aktor menjadi dirinya sendiri adanya sebuah fenomena yang cukup aneh dimana beberapa aktor berbicara dengan menggunakan logat daerah yang ada di Indonesia Ibu dari Sampek misalnya, pada awal dia muncul dia menggunakan logat batak yang sangat kental dan bahkan mengeluarkan beberapa bahasa batak seperti “Sip ma ho” yang artinya sudahlah diam saja kau dan “dang adong hepeng” yang artinya tidak ada uang. Menurut saya lagi-lagi adegan ini terlihat dibuat agar penonton tertawa. Sementara tidak jauh dari adegan tersebut ibu dari Sampek tidak pernah menggunakan logat bataknya lagi. Bukankah seharusnya dia tetap konsisten menggunakn logat batak yang dimilikinya di awal?
Sampek sendiri terlihat aneh di saat dia sedang sekarat. Masa-masa dimana Sampek sekarat seharusnya menjadi moment di mana penonton sedih ataupun merasakan duka karena tokoh utama akan meninggal. Hal yang terlihat aneh adalah di kala Sampek hendak mengucapkan kalimat-kalimat yang terakhir. Sampek berniat menitipkan tusuk konde milik Engtay kepada ibunya namun kalimat yang digunakan membuat adegan jadi terlihat aneh. Sampek berkata “Ini tusuk konde” namun dengan nada yang terdengar lucu atau sengaja dilucukan sehingga kontan penonton tertawa terbahak-bahak. Pertanyaannya apakah penonton layak tertawa pada adegan tersebut? Bukankah harusnya penonton merasa sedih?  Selain kalimat tersebut ada kalimat lain dari Sampek yang menyatakan bahwa dia minta maaf karena tidak menjaga ayah dan ibunya karena dia akan meninggal. Namun lagi-lagi kalimat ini diucapkan dengan nada yang lucu sehingga penonton pun lagi-lagi tertawa karena memang adegan ini sangat lucu. Penempatan adegan-adegan lucu hampir di semua adegan bahkan di adegan yang seharusnya tidak lucu terlihat aneh. Pertanyaannya penonton tertawa atau menertawakan?
Di bagian penutup pementasan lakon ini, harusnya menjadi sebuah tragedi. Sampek dan Engtay mati lalu menjelma menjadi menjadi sepasang kupu-kupu. Pada adegan ini penonton sudah cukup terkesima dengan pemunculan asap putih dari kuburan sampek yang disertai dengan pemunculan kupu-kupu kertas yang begitu banyak membuat penonton terdiam dan terpaku ke panggung. Namun lagi-lagi muncul adegan yang sepertinya ditampilkan agar penonton tertawa yaitu dialog penutup dari narator berupa  pantun yang diplesetkan. Pantun ini saya rada-rada lupa namun kurang lebih isinya seperti ini asam di gunung dan ……..(saya lupa sambungannya) bertemu di cobek pecel lele. Lagi-lagi pembacaan pantun ini dibawakan dengan gaya yang lucu sehingga emosi yang tadinya muncul rasa haru menghilang begitu saja.
Pantun ini rada-rada mirip dengan suatu pantun dari bahasa batak yang bunyinya kira-kira begini asom na di dolok , dekke na di tao mardomu di susuban tano terjemahannya kurang lebih beginin “jeruk nipis yang ada di pegunungan dan ikan mujair yang ada di danau bertemunya di susuban tano belanga buat memasak. Adapun maknanya ialah penggabungan dua hal (insan manusia) yang berbeda (kaya-miskin). Awalnya saya menyangka bahwa pantun yang disampaikan di akhir pertunjukan merupakan amanat yang hendak disampaikan dari pementasan tersebut mengingat naskah ini merupakan hubungan dua orang kekasih yang tidak dapat menyatukan kasih mereka karena adanya perbedaan status sosial (kaya dan miskin).
Demikianlah review saya mengenai pementasan Teater Koma dengan lakon Sampek Engtay. Sebelumnya mohon maaf bila ada kata-kata yang salah maupun terlalu lancang. Tulisan ini hanyalah sebuah keresahan dan kegundahan hati. Tidak ada maksud lain. Terimakasih.

No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...