Saturday 8 March 2014

SUDAHKAH PENONTON MENINGGALKAN PANGGUNG TEATER KOMA

Selalu ada decak kagum setiap kali tirai layar Teater Koma terbuka. Artistis yang sangat luar biasa tentunya dengan dana yang luar biasa pula. Dimulai dari pementasan Republik Petruk, Antigoneo, Sampek Engtay, Bu Brani (Mother Of Courage) dan yang terakhir yang sedang berlangsung “Demonstran”. Pementasan-pementasan yang saya sebutkan sebelumnya ialah pementasan yang saya tonton langsung. Kelima pementasan yang sebutkan memiliki ciri yang sama di bidang artistik dan properti yaitu sama-sama “megah” selain Antigoneo tentunya yang hanya memiliki satu setting dari awal hingga akhir pementasan dan menimbulkan rasa jenuh.


Kali ini saya akan membahas mengenai pementasan yang masih sedang berlangsung yaitu “Demonstran”. Tirai panggung terbuka, sontak terdengar decak kagum dari beberapa penonton. “Settingnya Gila”.Lakon ini menceritakan tentang kehidupan Topan, mantan demonstran yang sangat dikenal dan dianggap pahlawan oleh banyak pihak. Kini kehidupan Topan sangat sejahtera karena keuntungan dari aksi demonstrasi yang dia lakukan di masa mudanya. Di masa tuanya Topan hampir kehilangan idealisme dengan melupakan prinsip-prinsip masa mudanya dulu. Pada masa tersebut, muncul banyak aksi-aksi demonstrasi yang kurang bertanggung jawab (menyindir pada demo yang dilakukan oleh banyak pihak di masa kini tanpa persiapan dan modal koar-koar) dan banyak ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu. Topan memutuskan untuk kembali turun ke jalan dan meluruskan prinsip demonstrasi namun Topan malah tertembak dan mati. Secara garis besar demikian cerita pada lakon “Demonstran”.

Dari segi naskah, tentunya naskah sangat menarik dan penuh dengan sindiran-sindiran pada para pemimpin negeri ini. Adegan pembuka ditampilkan dengan adanya 7 buah ondel-ondel yang merujuk pada para pemimpin negeri dan mahasiswa yang sedang berdemo lantas diusir oleh para petugas dengan senjata api. Di sinilah letak keistimewaan koma, mereka mampu membuat senjata yang benar-benar menimbulkan suara ledakan sama seperti pada pertunjukan “Antigoneo dan “Bu Brani” namun jika dilihat dari para aktor yang bermain saya merasa mereka seolah-olah menjadi sekumpulan anak kecil yang mendapat mainan pistol-pistolan yang dapat meledak dan memainkan tanpa adanya tujuan.

Sampai menit ke-15 pementasan, menurut saya sangat menguras tenaga ditambah munculnya dua orang punakawan. Satu punakawan berlagak bijaksana (mungkin merujuk ke Semar), sementara satunya lagi berlagak lucu dalam artian sesungguhnya. Saya merasa bahwa para aktor sangat mengharapkan adanya tawa pada setiap tindakan mereka dan hal ini menimbulkan rasa jayus dan bosan yang sangat luar biasa. Kedua goro-goro sebenarnya menunjukkan fenomena yang terjadi di masyarakat namun cara penampilan terkesan sangat menggurui dan aneh. Adegan yang saya paling tidak suka ialah adegan para perwakilan partai yang sedang berkumpul bersama dan mendapatkan “upah” dari salah satu tokoh serta tiap-tiap dari mereka membanggakan partai mereka. Semua orang mungkin paham bahwa adegan ini menunjukkan “money politic” yang sedang berlaku namun harusnya tidak sevulgar itu juga cara penampilannya. Para tokoh ditampilkan memegang tumpukan uang dan mengipas-ngipas serta berkilah mengenai partai dan kekuasaan. Saya merasa sedang menonton pementasan teater SMA.


Setting pada pementasan sangat banyak, saya tidak bisa menghitung tepatnya namun kurang lebih ada 20 setting tempat. Hal yang sangat mengganggu dari perubahan setting ialah fokus penonton yang terpecah-pecah. Sebagai contoh saya ambil satu adegan antara jenderal dan penata rambut. Dilihat dari gesture penata rambut (Pak Subarkah) jelas tujuan dari gesture itu hanyalah untuk memancing tawa dari penonton. Inti dari adegan ini sebenarnya menunjukkan perhatian jenderal terhadap rambut yang menurutnya dapat menambahkan wibawa (mungkin dia kurang terlihat berwibawa pada anggapan anak buahnya). Namun, pada kenyataan adegan ini sangat jayus dan beberapa penonton tertawa karena adanya rasa tidak enak saat seseorang berusaha melucu di depannya dan akibatnya tawa yang dilontarkan pun tidak ikhlas.


Latar panggung yang saya sebutkan sangat hebat ternyata menjadi pajangan saja. Hampir tidak ada gunanya. Sangat disayangkan latar sehebat itu hanya jadi pajangan karena sama sekali tidak dapat dimainkan oleh aktor. Dapat disebutkan bahwa properti pada latar menggambarkan situasi naskah secara keseluruhan namun pada kenyataan saya melihat fungsi utama dari properti itu hanyalah mengurangi luas panggung GBB karena para pemain tidak dapat menguasai panggung.


Harus saya akui bahwa koreo pada pementasan ini sangat keren dan rapi. Dimulai dari koreo para banci dan para demonstran serta koreo para pelacur. Semuanya menarik dan dinantikan oleh penonton namun hal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Koreo-koreo menjadi hal yang dinanti namun tidak dengan alur cerita. Koreo ini dapat saya ibaratkan sebagai iklan lucu yang ditayangkan di sela-sela pada film yang membosankan. Pemunculan adegan Julini tentunya juga sangat menarik. Saya tidak pernah menonton “Opera Kecoa” secara langsung. Saya hanya menonton lewat DVD namun saya dapat mengerti karakter Julini, dan Julini yang ditampilkan memang sangat representatif dari pementasan Opera Kecoa. Namun, lagi-lagi saya melihat adegan ini lebih memusatkan untuk memancing tawa dari penonton.


Selama pertunjukan berlangsung, saya banyak mengamati penonton. Banyak penonton yang terlihat menyenderkan kepala di kursi dan menyalakan alat elektronik mereka serta mulai asik dengan dunia maya mereka, beberapa penonton yang lain malah asik tertidur. Dilihat dari jumlah penonton, penonton di pertunjukan terasa sangat berbeda dari pertunjukan sebelumnya karena penonton para pertunjukan ini lebih sedikit. Terlihat begitu banyak kursi yang kosong. Memang naskah ini penuh dengan pesan-pesan penting yang harus disampaikan kepada rakyat Indonesia, namun apalah artinya pesan penting jika tidak dapat disampaikan. Saya menyatakan tidak dapat disampaikan karena penonton kurang memberikan perhatian dikarenakan pertujunkan terlihat begitu lama dan sangat membosankan.
Sebuah pertunjukan apapun genrenya haruslah menarik, karena jika dia tidak menarik maka pesan yang hendak disampaikan tidak akan sampai pada targetnya.


Sebagai penutup, secara pribadi saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Teater Koma karena kelancangan dan ketidaksopanan saya mengkritik pementasan ini. Namun apa yang saya sampaikan hanyalah keluh kesah seorang penikmat pertunjukan. Pada dasarnya saya sangat menghargai Bapak Nano Riantiarno sebagai sutradara dan penulis naskah sekaligus tokoh teater yang mampu membuat Teater Koma sebagai teater paling besar di Indonesia. Terimakasih

No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...