“Tolong persiapkan peti mati dan
pemakaman secepatnya untukku.”
Bodoh, ucapan
macam apa itu. Hamidah, perempuan baik-baik berusia 20 tahun tiba-tiba
memutusan untuk mati. Anehnya dia menentukan cara dan tanggal matinya dengan
bantuan dan dukungan teman-teman terdekatnya. Sungguh hal yang aneh dan tidak
masuk akal. Di luar sana banyak orang yang mati-matian hanya untuk bisa hidup
sementara dia memutuskan untuk mati dengan seenaknya. Apa dia pikir perkara
hidup dan mati merupakan hal yang sepele.
“Dia tidak bisa
ditemui sekarang, kondisinya sedang tidak bagus dan tidak memungkinkan.”
“Apa aku harus
menemuinya setelah dia meninggal?Bodoh, aku harus menemuinya sekarang juga,
harus sekarang.Kau yakin dia serius untuk mati?Apa kau yakin dia tidak sedang
bercanda?
“Tidak ko, dia
beneran ingin mati. Semua ini terjadi sejak temen
lamanya memutuskan untuk menikah dan menetap di London, di kota yang sangat
Midah sukai”
“Iya, semua ini
ia lakukan untuk menunjukkan ketegarannya”.Demikian kata kedua temen dekatnya
dengan sangat berapi-api.Anehnya tidak ada penyesalan sedikitpun di wajah
mereka.
Ketegaran? Sejak
kapan ketegaran ditunjukkan dengan cara mati? Ini sangat konyol.Sekarang juga
aku harus bertemu dengannya.
Aku bergegas
menuju rumahnya dan menghiraukan kedua mahluk aneh yang masih ingin meneruskan
cerita dengan wajah bersemangat.
Lagi-lagi aku
dihadapkan pada kegilaan.Rumah Midah dipenuhi orang berpakaian gelap layaknya
pakaian pelayat yang sedang berkabung dan terlihat bendera kuning yang berkibar
gontai tidak jauh dari halaman rumahnya.Ya Tuhan, jangan-jangan dia sudah
meninggal.Terasa beberapa bulir airmata mengalir lemah.
Di teras
rumahnya terlihat segerombol ibu-ibu lengkap dengan gorengan dan teh manis
menemani obrolan mereka. Aku segan memasuki rumahnya.Sekilas terdengar obrolan
ibu-ibu mengenai betapa luar biasanya sosok Hamidah yang memutuskan untuk
meninggal dan menunjukkan ketegarannya.Tidak ada satupun dari mereka yang
menyatakan tindakan Midah bodoh. Malah beberapa dari mereka mulai menyesali
karena tidak memiliki keberanian untuk mati di usia muda mereka dulu. Kakiku
mendadak lemah dan tidak mampu menopang tubuhku. Aku bersandar pada sebuah pohon yang entah pohon apa.
Teringat sosok Midah yang polos dan lucu.Dia memang suka melakukan tindakan
aneh, namun semua tindakannya hanya mendatangkan tawa bukan tangis dan
kesedihan seperti ini.
Ada rasa tidak
percaya dia sudah meninggal. Aku bingung dan tidak tahu harus melakukan apa,
dan aku hanya duduk sembari menatap ke arah gerombolan ibu-ibu yang masih asik
dengan diskusinya.
“Midah, makan
dulu nih biar kamu tidak sakit, biar tetep fit” sayup dari dalam terdengar
suara seorang ibu-ibu. Aku yakin itu suara ibunya Midah.Aku memang tidak pernah
bertemu dengan ibunya tapi aku sangat yakin kalau itu suara ibunya. Kasihan ibu
Midah, pasti dia tidak bisa menerima
kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal. Ya ampun Midah, kenapa kau begitu
bodoh, tidakkah kau lihat ibumu?Tidakkah kau kasihan dengan ibumu?Sungguh tega
kau.Tidak ada nada kesedihan pada suara ibunya.Tidak ada bedanya dengan suara
seorang ibu yang hendak menyiapkan sarapan untuk anaknya menjelang berangkat
sekolah.
“Iya mah, Midah
juga udah laper nih. Sambelnya masih ada kan? Aku suka sambelnya tau mah”
Seisi dunia
terasa hening.Aku mendengar suara Midah dari dalam rumah dan dia sedang meminta
sambal.Kali ini aku yang sudah gila.Mungkin aku sudah stress.
“Mah, ko
temen-temen midah belum pada datang ya? Mereka lama amat.”
Nah, suara itu
lagi, suara yang sama. Itu suara Midah.Aku tidak gila.Tergesa-gesa aku masuk ke
dalam rumah.Tidak kupedulikan piring gorengan milik ibu-ibu yang sedang
mengobrol di teras.Aku menginjak beberapa piring hingga gorengan-gorengan
berceceran di lantai.
“Hati-hati mas,
gorengannya tumpah semuanih” Aku tidak peduli. Sangat tidak peduli.Kumasuki
rumah Midah dan pemandangan yang kutemui sungguh membuatku marah. Di ruang
tamunya tidak terdapat satu perabotan pun selain tempat tidur kecil dengan
lebar hanya sekitar satu meter dan panjang sekitar tiga meter. Tempat tidurnya
diletakkan tepat di ruangan.Terlihat sekitar sepuluh sepuluh orang berpakaian
serba gelap layaknya pakaian pelayat yang sedang mengitari tempat tidur tadi.Di
tempat tidur terlihat Midah yang duduk dengan santai sembari makan.Dia makan.
Aku hanya bisa
diam melongo melihatnya, tidak ada kata yang kuucapkan.
“Eh kak Deny,
baru datang kak? Sini gabung.” Lantas dia tersenyum seolah tidak terjadi
apa-apa.
Apa-apaan ini,
ko dia malah makan dan tanpa merasa bersalah sedikitpun menyuruhku bergabung.
Kegilaan macam apa ini? Aku sudah menangis atas kematiannya dan dia malah makan
dengan santainya.Bukannya aku ingin dia mati.Tidak, aku tidak ingin kita
mati.Tapi kenapa dia malah makan?
“Midah,
apa-apaan ini? Jika kamu ingin bercanda, bercandaanmu sungguh sangat tidak
lucu”
“Ko bercanda?
Apaan maksudnya.” Kali ini dia malah menunjukkan wajah bingung
“Katanya kamu
mau mati, katanya kau ingin menunjukkan ketegaran, katanya keinginanmu sudah
bulat ingin mati dan orang-orang ini berapa rupiah kalian dibayar untuk
mendukung lelucon ini?Berapa kalian dibayar? Tidak hanya sampai di situ saja,
kau malah memasang bendera kuning di depan rumahmu. Kau pikir ini lucu?”Kutumpahkan
semua kekesalanku.Aku sungguh merasa dipermainkan.
‘Oh itu, jangan
marah dulu.Aku memang mau mati.Temanku pergi dan hendak tinggal di London.Aku
sangat ingin pergi ke tempat itu. Dia malah pergi duluan ke sana dan ninggalin aku. Yaudah daripada aku di
sini dan menangis cengeng, aku mutusin
mati untuk menunjukkan ketegaranku. Mereka ini bukan pelayat, mereka cuma
orang-orang yang kagum samaketegaranku Ka. Aku memang belum bisa mati sekarang,
peti matinya belum selesai.Pemakamannya juga lagi diurus sama teman-temanku.”
Orang-orang yang
sedari tadi mengitari dia dan sekumpulan ibu-ibu yang tadi ngobrol di teras
mulai berkumpul memutari ranjang Midah.Setiap dari mereka menunjukkan wajah
kagum dan terpesona oleh penjelasannya.
“Tunggu dulu,
jadi kau niat untuk mati?”
“Iya, kan tadi
udah dijelasin.Gimana sih?”
“Tapi mati yang
kamu lakukan ini bukan simbol ketegaran, ngerti
ga sih arti ketegaran?Kau mati sia-sia kalau begini”.
“Nga ko, justru
yang seperti ini merupakan simbol ketegaran mutlak. Iya kan?” serempak
orang-orang yang di ruangan menyatakan tanda setuju dan kagum.
“Lalu bagaimana
dengan temanmu yang pergi ke London?Bukankah dia merasa bersalah atas
kematianmu?Kamu tega dia hidup dengan penuh penyesalan?”
“Engga, justru
dia sangat senang dana merasa terhormat menjadi bagian dari ini semua.”
“Midah, bukan
begini caranya, harusnya kamu menabung agar bisa pergi ke sana bukan malah
mati.Caramu salah ini.”
“Kak, kayaknya
kita beda pemikiran. Biarin aja pikiranmu begitu tapi aku tetap sama
prinsipku.”
“Iya jangan
maksain kehendak dong, terserah dia dengan prinsipnya.”
Serentak laksana
koor, seisi ruangan menyalahkan sikapku.Aku dianggap arogan dan tidak menerima
perbedaan pendapat.
Ironi aneh macam
apa ini. Bahkan teman-teman terdekatnya mendukung dia untuk mati. Selagi kami
masih mendebatkan hal tersebut, di luar terlihat sebuah mobil pick up yang sedang menurunkan peti mati
dengan ukiran-ukiran yang samar terlihat membentuk pola bunga.
“ Itu baru
sampai, aku rencananya mau mati pakai peti mati. Nanti kalau udah di dalam peti kan kehabisan nafas.
Yaudah mati.”
“Midah, kamu
yakin?Itu serem lho, mati kehabisan nafas menyeramkan Midah.”
Aku mulai
mengeluarkan beribu argument mengenai betapa seram dan mengerikan mati karena
kehabisan nafas, namun dia tetap pada pendiriannya. Sementara manusia-manusia
aneh yang ada di sana selalu mendukung apapun yang dia ucapkan.
Frustasi dan
kesal aku memilih untuk pulang dan menenangkan diri.Aku masih tidak dapat
menerima kejadian ini.Terlalu fiktif untuk menjadi nyata.
Kucoba
menyalakan tv, mencoba menikmati siaran-siaran aneh sekedar mengalihkan
perhatian namun tetap saja aku memikirkan hal yang sama.
Tidak berapa
lama, dua orang teman dekat Midah datang ke rumahku.Mata mereka sembab dan
bengkak pertanda baru saja menangis. Entah apa yang bisa mereka tangiskan jika
kematian sahabat mereka saja tiak mampu membuat mereka sedih.
“Kak, tolong
Midah.Kasihan dia kak.Tolongin
Midah.”
Akhirnya
orang-orang bodoh ini sadar juga. Entah apa yang menyadarkan mereka.
“Ayo sekarang
juga kita ke rumah Midah. Aku akan
menolong kalian.”
“ Kenapa ke
rumahnya? Kita bukan mau menolong kan.”
“Lah, bukannya
kita mau menolong Midah agar dia tidak jadi mati?
“Ko dicegah?
Bukan itu kak.Petugas pemakaman ingin agar midah dikremasi atau dibakar dan
nantinya abunya bisa dimasukkan ke guci entah mau ditabur dimanapun. Katanya
proses pemakaman hanya membuang-buang tanah produktif.”
“Terus memangnya
kenapa kalau dia harus dibakar?Bukannya toh dia mati-mati juga? Kalian
menginginkan kematiannya kan?
“Iya kak, tapi
kalau dia dibakar, nanti abunya akan terkontaminasi oleh kacamata yang Midah
pakai.Nanti ketegarannya tidak akan menjadi murni karena adanya kacamata yang
menyaru pada debunya.”
Tolol, yang
mereka takutkan bukan panas api kremasi yang akan membakar tubuhnya tapi malah
menakutkan abu yang terkontaminasi oleh kacamata. Padahal kacamata bisa dilepas
dengan begitu mudahnya.Toh kacamata tidak permanen menempel ke tubuh seseorang.
Kegilaan macam
apa ini? Tapi aku tetap saja aku tidak tega melihat dia terbakar. Tentu dia
akan kesakitan dan sangat menderita.
Kuputuskan untuk
berbicara pada petugas pemakaman. Dengan sedikit negosiasi dan tambahan amplop
tentunya, dia mengiklaskan Midah mati dengan cara dimasukan ke peti dan
kehabisan nafas walaupun akan menyia-nyiakan sepetak tanah.
Aku sudah
pasrah.Kalau dia memang harus meninggal ya biarkan saja.
Segala macam
persiapan sudah selesai.Bahkan urusan tanah pemakaman sudah dibayar
tunai.Anehnya aku ikut dalam persiapan pemakaman aneh itu.
Di halaman
rumahnya terlihat meja panjang dengan tinggi sekitar satu meter dan di atasnya
terdapat sebuah peti mati yang menurutku terlalu bagus jika hanya untuk
dikuburkan. Di dalam peti mati terlihat Midah yang duduk dengan anggun
sementara di sekitarnya terdapat sekumpulan pelayat yang duduk mengitari peti
mati.
Midah dengan
anggunnya memberikan ceramah mengenai ketegaran yang masih tetap tidak bisa
kuterima.Aku melihat wajah-wajah tolol yang sesekali mengangguk.
Tibalah saatnya
untuk Midah mati. Dia memejamkan mata sesaat seolah menikmati setiap detik
terakhir yang ia miliki. Ia akan mati. Dia tersenyum padaku seolah
berterimakasih.Ada kepuasan pada senyum itu dan bodohnya aku membalas
senyumnya.
Tiba-tiba adikku
yang berusia sekitar 5 tahunan berlari melewati prosesi pemakaman sembari
menarik mobil-mobilan.Dia baru saja datang bersama ibuku.Aku tidak tahu entah
darimana ibuku tahu mengenai kabar ini. Toh dia sama sekali tidak mengenal
Midah dan dia tinggal di kota lain yang cukup jauh dari tempat ini, tapi
nyatanya dia hadir mungkin untuk menyatakan kekagumannya pada ketegaran Midah.
Eh, itu siapa?
Ko mirip banget sama Kak Deny?” Midah yang hendak mati terlihat sangat
terkejut.Dia tidak menyangka aku memiliki adik.
“Namanya siapa?
Ih lucu banget, mirip banget sama Kak Deny.” Dia lantas keluar dari peti mati
menghampiri adikku dan bercanda serta menggendongnya.Dia tidak jadi mati.
No comments:
Post a Comment