Aku tidak akan memakan uang negara sepeserpun. Ingat sepeserpun tidak
akan.
Pengemis
yang duduk bersederkan tiang listrik terlihat berbeda dengan pengemis lainnya.
Dia mengenakan celana jeans biru dengan kaus putih yang sedikit ketat. tidak
ada kesan pengemis kecuali kaleng rombeng dengan beberapa koin dan recehan lain
di dalamnya. tubuhnya tidak cacat sama sekali, malah sedikit atletis. anehnya
dia terlihat rapi dengan kumis yang tertata. Wajahnya tidak kotor, demikian
juga dengan baju dan celana yang ia kenakan. dia malah mengenakan sepatu
pantofel.
Aku
beberapa melihatnya dan ada sedikit ragu apakah dia benar-benar pengemis? Jika
saja dia berdiri dan masuk ke sekolah yang menjadi tempat kerjaku, maka aku
akan sangat yakin jika dia merupakan salah satu orang tua murid.
Setiap
sore sebelum pulang, aku selalu melihatnya duduk bersendarkan tiang listrik
yang sama dengan kaleng rombeng yang selalu sama pula di tangannya. Beberapa
muridku terkadang memberikand ia recehan, mungkin mereka tidak terlalu
memusingkan entah dia pengemis atau tidak.
Suatu
ketika, dengan alasan ingin merokok, aku keluar dari sekolah dan
menghampirinya. Bertepatan hari itu sedang ada ekskul teater dan sebagai guru
pembina, aku harus mengawasi sampai sore. Pengemis aneh itu datang ke tempat ia
biasa duduk dan langsung mengeluarkan kaleng rombengnya. Pelan-pelan sambil
merokok aku berjalan dengan niat melewatinya “Pak, bagi sedekah buat makan”
katanya tiba-tiba. anehnya dia tidak memelas atau menunduk seperti pengemis
lainnya. Dia menatap tepat ke mataku dan menyodorkan kaleng rombengannya.
Tatapannya tidak seperti sekawanan preman di angkotyang memamerkan tatto dengan
haraopan orang lain akan takut. tatapan matanya tidak menakutkan sama sekali,
juga tidak memelas. Ragu, namun tanpa sadar aku mengeluarkan selembar seribuan
dan memasukkan ke dalam kalengnya, lalu tanpa sadar aku berjalan ke arah
sekolah tanpa menoleh sama sekali dan langsung menuju ke ruang teater melihat
murid-muridku latihan.
Keesokan
harinya kulihat dia datang dengan gaya yang sama. tidak ada yang berubah. Dia
duduk dan mengeluarkan kalengnya. Harusnya aku sudah pulang karena hari ini
tidak ada ekskul. Aku menatapnya dari gerbang sekolah dan sialnya dia
melihatku. Telihat dia menunduk seolah memberi hormat dan bodohnya aku balas
menunduk padanya. Entah apa yang ada di dalam otakku. Kutarik nafas panjang,
kutenangkan diriku dan kuyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku bisa mengontrol
diriku. Aku harus tenang. Dia hanya
pengemis dengan tampilan berbeda. Aku harus mengobrol dengannya dan membuang
rasa penasaranku.
Dengan
langkah pasti, aku berjalan ke arahnya. Kuusahakan langkahku berwibawa dan
tidak tergesa-gesa. Kuhampiri dia.
Sebelum aku berhenti melangkah, dia menengadahkan kaleng rombengnya dan berkata
“Pak, bagi sedekah buat makan”. Tatapan matanya sama seperti sebelumnya. Tepat
ke arah mataku. Tidak memelas dan tidak mengancam. Tanpa sadar tangan kananku
merogoh kantong hendak mengambil recehan. Bodoh, umpatku dalam hati. Aku hampir
memberi dia uang lagi. Kembali kucoba menenangkan diri. aku tidak jadi
memberinya recehan. Dengan perlahan aku mengeluarkan rokok. Kata orang rokok
dapat membuat pikiran tenang. Kunyalakan rokokku perlahan dan kutatap pengemis
aneh itu. dia masih menyodorkan kaleng rombengnya. Kuhiraukan kalengnya. Aku
duduk berjongkok di depannya.
“Kamu
siapa? tanyaku
“Pengemis
tuan, sedekah buat makan” jawabnya sembarai menyodorkan kalengnya.
“Kenapa
kamu mengemis?”
“Agar
bisa makan tuan, sedekah buat makan” Dia kembali menyodorkan kalengnya sembari
mengguncang pelan hingga terdengar kerincingan logam.
“Bukan,
bukan itu maksudku. Kenapa kau harus mengemis? Kau tidak cacat sama sekali,
tubuhmu sehat, terlalu sehat malah”
“Sejak
kapan ada peraturan mengenai pengemis? apa aku harus membuat diriku cacat agar
layak sebagai pengemis?” sahutnya menatap tanpa sedikitpun keraguan.
“Ah, bukan
itu maksudku, kau kan bisa bekerja apapun. Kau sehat maksudku. Kenapa kau tidak
bekerja? Kenapa kau mengemis?”
“Lantas
menurutmu mengemis bukanlah pekerjaan? Aku bekerja” ujarnya sembari
mengacungkan kaleng tempat recehan. Tidak ada amarah pada ucapannya. Nadanya
tegas dan bijak seperti seorang bapak yang mengajari anaknya.
“Tapi
bukan itu maksudku.” Nada bicaraku mulai meninggi melihat pengemis yang mulai
sok bijak. Ucapanku tidak kuselesaikan, kurasakan beberapa pasang mata melihat
ke arah kami berdua. Sepertinya ada orang-orang yang penasaran melihat seorang
guru yang sedang berdebat dengan seorang pengemis. Sementara pengemis itu masih
mengacungkan recehannya.
“Ah,
sudahlah.” Ucapku kesal sembari memberikan selembar uang dua ribuan ke dalam kalengnya.
Aku lantas pergi meninggalkannya, namun baru beberapa langkah berjalan kudengar
ia berkata dengan nada yang sama “Terimakasih tuan.”
Ah,
bodohnya, kenapa tadi aku memberikan dia uang? dengan langkah penyesalan dan
kesal kutinggalkan dia.
Beberapa
hari kemudian, dia masih saja datang ke depan sekolah dan duduk di tempat biasa
dan mulai mengemis. Pernah kuminta satpam sekolah untuk mengusir dia, namun
katanya tempat pengemis tersebut sudah berada di luar pekarangan sekolah. Jadi,
satpam tidak memiliki wewenang untuk
mengusirnya. Aku berusaha fokus pada rutinitas namun sulit rasanya.
Entah kenapa aku selalu memikirkan pengemis aneh itu.
Rasa
penasaran yang semakin berlebihan memaksaku untuk mengikuti pulangnya si
pengemis. Ternyata dia hanya mengemis sampai sekitar jam 8 malam. Kuintip dia
dari kejauhan. Kulihat dia merapikan barangnya dan bergegas menuju halte lalu
menaiki sebuah angkot. Kuikuti dia dari belakang dengan menggunakan motor.
Kugunakan slayer untuk menutupi wajah sekedar jaga-jaga apabila dia melihatku.
Tujuannya cukup jauh ternyata.
Dia
turun dari angkot di sebuah perumahan elite dan kemudian berjalan sekitar 100
meter lalu memasuki rumah yang cukup mewah. Banyak pertanyaan yang melintas di
benakku. Aku menduga-duga bahwa rumah mewah yang dia masuki merupakan rumah bos
pengemis. Sudah banyak kudengar kisah bahwa pengemis-pengemis memiliki sindikat
yang dipimpin oleh orang-orang yang cukup kaya.
Kuhampiri
rumah yang dia masuki namun aku tidak memasukinya. Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan. Dari gerbang luar dapat kulihat kolam ikan dengan
tanaman-tanaman hias di sekelilingnya. Tanpa sadar aku malah mulai mengagumi
rumah dan pekarangannya.
“Cari
siapa Pak?” seorang satpam menanyakanku. Seorang satpam tahu-tahu sudah berdiri
di depanku. Pada dasarnya aku tidak tahu sedang melakukan apa atau mencari
siapa. Aku hanya mengikuti seorang pengemis yang tiba-tiba saja masuk ke rumah
yang sekarang ada di depanku dan bahkan tidak tahu siapa nama orang yang sedang
kuikuti.
“Maaf pak, anda mencari siapa? ulangnya
“Saya
sedang mencari rumah teman saya” jawabku ngasal
“Boleh
saya tahu alamatnya? kelihatanhya bapak sedang mengamati rumah ini bukan? ini
rumahnya? nama teman bapak siapa?
Belum
sempat kujawab pertanyaannya, dia sudah menghujaniku dengan
pertanyaan-pertanyaan lain. Aku pasti disangka penjahat atau maling.
Tiba-tiba
dari dalam rumah keluar si pengemis dengan tatapan familiar seolah kami teman
dekat atau semacamnya.
“Eh,
sudah lama di depan? Ayo masuk. Kebetulan saya juga baru sampai di rumah”
“Oh,
jadi ini teman bapak? maaf saya tidak tahu kalau anda temannya pak Vicky. Maaf
pak” katanya sambil menunduk menunjukkan rasa hormat.
Dan
layaknya orang bodoh, kuikuti saja ajakannya, malah aku semakin terlihat bodoh
dengan berkata “Ah, baru sebentar ko” aku malah menambahkan senyum dan berjabat
tangan dengannya.
“Ayo
masuk”
Bingung
dan ragu. Namun tetap saja aku melangkah masuk ke rumahnya lantas duduk di
ruang tamu. Kuperhatikan begitu banyak barang-barang mewah di dalamnya. Tidak ada
dialog. Suasana hening hingga seorang wanita yang menurutku pembantu rumah
tangga menyedikan kopi hangat buat kami berdua.
“Ini
rumahmu?”
“Iya,
ini rumahku”
“Kau
tinggal di sini?”
“Iya
tentu saja. Sudah kukatakan tadi ini rumahku. Bukankah sudah fungsinya rumah
untuk dihuni?”
“Tapi
kau kan pengemis”
“Iya,
aku pengemis”
“Bagaimana
mungkin kau punya rumah sebesar ini? kau bahkan punya pembntu”
“Iya
aku memang pengemis, tapi toh aku punya rumah ini. Tidak ada yang salah kan?
“Maksudku,
kenapa kau punya ini semua? dimana kau mendapatkan ini?
“Hahahahaha,
sepertinya kau sangat penasaran. Baiklah aku akan ceritakan padamu. Di pagi
hari aku bekerja sebagai manager pada salah satu bank milik negara. Di sore
hari, aku menjadi pengemis di depan sekolahmu. Itulah alasan aku punya rumah
ini.”
“Kalau
kau manager bank, lantas kenapa kau mengemis? kau sedang ingin merasakan
penderitaan orang-orang miskin?” Aku semakin yakin kalau orang di hadapanku
punya hobi yang aneh.
“Oh,
bukan. Bukan itu alasannya. saya tidak berpura-pura. Saya serius”
“Saya
bekerja sebagai manager. Rumah yang saya tempati ini pada dasarnya hanyalah
fasilitas dari pekerjaan saya. Demikian juga dengan para pekerja di rumah ini.
Katanya biar saya bisa fokus pada pekerjaan saya. Tampaknya anda tidak puas
dengan penejelasan saya. Apakah bapak tahu pendapatan utama bank itu darimana?
Pendapatan bank itu pada dasarnya berasal dari bunga pinjaman para nasabah.
Jadi, menurut saya uang-uang yang dimiliki bank bukanlah uang hasil keringat.
Prinsipnya hanya meminjamkan uang kepada orang lain dan meminta hasil pinjaman
dengan jumlah yang lebih besar. Berbeda dengan pekerjaan lain. Contohnya Petani
mendapat uang dari hasil panen atau tukang yang mendapat uang dari hasil
jasanya atau bahkan tukang cukur yang juga mendapat jasa dari hasil mencukur
rambut orang. Itu baru uang bener. Pekerjaan di bank prinsipnya hanyalah
meminjamkan uang pada orang yang butuh dan saat dia hendak mengembalikan maka
bank akan meminta bayaran yang lebih banyak. Ya salah jadinya. Saya tidak
setujunya dengan yang beginian”
“Lantas
honor yang anda peroleh dari bank bagaimana?
“Uang
itu saya biarkan, tidak saya gunakan. Itu uang rakyat, uang negara. Saya tidak
akan pernah memakan uang negara sepeserpun. Sebenarnya kita ini Cuma renteinir,
Cuma karena instansinya besar dan lebih memasyarakat ya dianggap sah”
“Ya
kalau tahu begitu jangan bekerja di bank, ganti profesi saja”
“Saya
sengaja tidak ganti profesi. Biar saya saja yang menanggung dosa ini. Saya akan
tetap bekerja di bank. Namun saya makan dari hasil mengemis. Itu namanya
idealis.”
“Saya
rasa itu bukan idealis. Itu kebodohan yang amat sangat. Saya rasa anda
mengalami gangguan jiwa”
“Hahahahaha,
saya sudah menduga kalau anda akan berpendapat seperti itu, orang lain juga
pasti berpendapat demikian. Saya tidak marah dianggap mengalami gangguan jiwa.
Tapi tenang saja, saya waras dan sehat.”
“Lantas
kalau di rumah, anda makan masakan pembantu anda. Tidak konsisten dong
namanya.”
“Tentu
saja konsisten, saya menganggap makanan itu sebagai belas kasihan dia pada
saya. Bukankah prinsip dasar mengemis itu adalah mengharapkan belas kasihan
dari orang lain?”
“Gila,
ini gila. Bukan idealistis sehat. Kenapa honor tidak kau sumbangkan saja pada
fakir miskin? kan lebih berguna dan lebih logis?”
“Tidak
bisa dong. Kan itu duit haram. Anda ini
bagaimana sih?”
“Anda
punya Tuhan? punya agama?
“Hahahhaha
dulu orang tua saya punya, tapi saya tidak melihat dampak positif dari hal-hal
seperti itu. Yasudah saya tinggalkan.
“Benar-benar
aneh aku tidak percaya dengan penjelasannmu. Aku bahkan tidak percaya telah
melakukan obrolan ini denganmu. Ini gila dan bodoh”
Setelah
menghabiskan semakan penuh dengan dialog-dialog yang aku sendiri tidak paham
akupun pulang.
Keesokan
harinya aku mengajar seperti biasa. Sepulang mengajar aku melihat pengemis aneh
itu masih datang dengan kantong recehannya.
Kutinggalkan
tasku dan beberapa buku pelajaran. Kuhampiri dia lalu duduk di sebelahnya.
Kukeluarkan kaleng bekas susu dan mulai menengadahkan tangan. Aku pun mulai mengemis.
Rawamangun, 30 September 2013
No comments:
Post a Comment