Saturday 23 August 2014

Kunjungan

“Masa Yang Berkuasa tidak mengizinkan kita merindukan orang yang kita sayangi hanya karena orang tersebut sudah meninggal”
Pemakaman, tanah pekuburan selalu sepi bahkan tanpa hujan pada tanah yang memerah. Iring-iringan pengusung peti mayat terasa sangat perlahan. Sayup terdengar lagu-lagu rohani yang segaja dinyanyikan sebagai penghiburan bagi keluarga yang berduka.
Ho ale Luther Tampubolon, sian tano do ho, jala mulak tu tano do ho muse[1]” ucap pendeta sesaat sebelum menaburkan tanah pada peti yang berada dalam liang kubur lalu mempersilahkan pihak keluarga melakukan hal yang sama. Salam perpisahan yang terakhir kusampaikan. Aku menaburkan tanah ke liang kubur sambil berbisik “Sepertinya tidak ada yang salah jika aku merindukanmu”
10 tahun…
10 tahun berlalu, hampir tidak ada yang berubah, hanya seorang anak kecil yang dulu bermain pada pematang sawah terseret oleh waktu menjadi pemuda dengan beban pikiran masa depan dan tanggung jawab entah pada siapa. Terbangun di pagi hari dan memikirkan akan seperti apa hari esok, lantas kembali tertidur hingga siang membangunkan dengan sedikit rasa lapar. Ibunya yang kian renta tak mampu lagi memanjakan siang harinya dengan menjanjikan sore yang ramah.
Malam hari. Seperti biasa aku duduk di sofa, berusaha menikmati sajian dari layar TV. Entah kenapa tidak ada yang mampu menarik perhatianku paling tidak sebelum kantuk menyapa.
Tok…tok… tok ..
Gila. Siapa yang malam-malam begini mau bertamu pada rumah dengan televisi yang tidak pernah mati. Enggan, akupun membiarkan pintu tanpa ada yang membuka. Pura-pura tidur. Toh jam dindingku sudah menunjukkan 12 : 15. Bukan jam yang tepat untuk bertamu. Pasti orang iseng, dan akupun kembali pura-pura menikmati tayangan pada layar televisi. Tertidur.
Keesokan hari, seperti biasa aku terbangun. Cuaca masih terasa dingin. Terlalu pagi. Lantas aku menarik selimut menunggu siang hari datang. Tertidur.
Siang hari, terasa kamar sangat gerah, entah siapa yang sengaja mematikan kipas angin pada langit-langit kamar. Benda itu satu-satunya pembawa surga pada neraka kecil berbentuk segiempat ini.
Gontai. Aku berjalan menuju dapur. Ada sayur singkong yang ditumbuk dengan kuah santan dan beberapa ikan asin beserta sambal.
Mandi sebentar, lantas menyantap sarapan siangku. Terpekur pada kumpulan buku yang ada di kamar. Entah apa gunanya. Sejenak melihat kolom lowongan pekerjaan pada koran pagi Isinya sama saja dengan minggu-minggu sebelumnya. Kembali ke sofa dan berpura-pura menikmati tayangan pada televisi. Tertidur. Malam.
Tok..tok..tok.
Terdengar ketukan. Enggan aku terbangun. Melihat jam dindingku. 12 : 15. Ah, entah siapa yang hendak bertamu semalam ini. Aku tidak menghiraukan dan kembali pura-pura tidur.
Tok..tok..tok 
Kembali terdengar ketukan. Lebih keras. Kututup kepalaku dengan guling yang sedari tadi aku peluk.
TOK..TOK..TOK
Ketukan itu kembali terdengar dan tidak mau berhenti. Malah semakin kencang dan semakin cepat.
TOK..TOK. TOK.
Hanya dibalas dengan ketukan dan lama-lama berubah jadi gedoran pada pintu.
Penasaran dan ketakutan, aku mengambil potongan kayu bakar lantas mengendap-endap mengintip melalui kaca nako  untuk melihat siapa tamu kurang ajar itu .
“Astaga” hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutku.
Kulihat ayahku mengenakan jaket coklat sama seperti yang dikenakan saat terbaring di peti mati. Jaket itu tampak kotor dan lengan sebelah kanannya robek menunjukkan busa bagian dalam jaket.
Antara percaya dan tidak percaya, aku membuka pintu rumah dan memperjelas apa yang tadi kulihat dari kaca nako.
Dia benar ayahku, dengan tampang yang lebih tua dan ringkih dengan kerutan yang lebih banyak pada dahinya.
“Bukankah, bukankah ayah sudah meninggal? Sudah 10 tahun” Gumamku terbata-bata.
Tidak ada balasan.. Dia memeluk dengan perlahan dan mengusap rambutku persis seperti yang biasa dilakukannya saat sepulang kerja. Aku tak kuasa mengatakan apa-apa. Kakiku mendadak lemas seperti tanpa tulang. Terdiam.  
Kurasakan dia berbau lumpur. Jaketnya penuh bercak-bercak tanah yang masih basah. Entah kenapa jaket itu sangat kotor dan bau lumpur.
Tidak ada sapaan, tidak ada dialog. Sepi.
Dia berjalan menuju kamarnya dan langsung menutup serta mengunci pintu dari dalam. Semua terasa seperti mimpi. Tidak aku pasti bermimpi. Aku lantas menggigit bibirku. Berdarah. Perih.
Bahkan dalam mimpi aku bisa merasakan perih. Lalu aku kembali ke sofa dan pura-pura tertidur.



[1] Wahai Luther Tampubolon, kau berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah juga 

No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...