Wednesday 20 August 2014

Pelataran Mimpi

Aku sangat ingin menuliskan sebuah cerita pendek tentang kita berdua. Namun setiap kali aku berusaha untuk mengabadikanmu dalam tulisanku, maka setiap kali pula aku gagal. Entahlah, aku tidak tahu kenapa aku tidak sanggup mengabadikanmu dalam cerita-cerita yang kelak ingin kusampaikan kepada anak cucu kita. Terlebih kepada Deny Andara dan Yeshinta Ramadhani. Aku ingin menceritakan betapa perjuanganku untuk mendapatkan ibu mereka hingga mereka ada dalam dunia ini. Aku juga ingin menceritakan bagaimana dulu kami mencari nama untuk anak mereka. Padahal saat kami mencari nama, kami bahkan tidak tahu apakah hubungan kami dapat berjalan lebih jauh.
Malam ini, seperti biasa kau memilih untuk tidur berbantalkan lenganku, ya itu memang tempat tidur favoritmu, padahal di sebelahmu terdapat 4 bantal yang bisa kau pergunakan sesukamu. Entahlah, aku juga sangat menyukai jika kau tertidur dalam pelukanku, walau hal ini akan berakibat kesemutan dan pegal pada tanganku, namun aku sangat menginginkannya.
Seperti biasa juga kau tertidur setelah mendengarkan aku bercerita, mendongengkan kisah yang mengantarkanmu menuju mimpi yang indah, walau aku tahu mimpi yang indah itu terkadang tanpaku. Kau tertidur. Tak berapa lama aku bercerita kau tertidur, terkadang dongengku belum selesai namun kau telah tertidur. Tidak apalah, toh aku menginginkannya, karena kalau kau tidak tertidur entah apa lagi yang akan kuceritakan.
Kala kau tertidur, inilah saat yang paling aku suka. Aku suka melihat matamu terpejam, karena kalau dia tidak terpejam aku tidak sanggup menatapnya untuk waktu yang lama. Rambutmu yang panjang kubelai dan kucium mesra keningmu. Kuhabiskan waktu berjam-jam untuk menikmati wajahmu yang sedang tertidur. Ya ampun, bahkan setelah bertahun-tahun kau menjadi istriku, wajah itu tidak berubah sama sekali. Wajahmu masih saja seperti seorang anak kecil yang tertidur dalam ribaan seorang ibu. Ingin rasanya tertawa mengingat masa dimana kau selalu menolak kupanggil bocah, tanpa sadar aku berkata perlahan “dasar bocah"
Melihat kau tertidur begitu lelap dengan wajah yang sangat damai, tiba-tiba muncul dalam benakku untuk memasuki mimpimu dan melihat apa yang sedang kau impikan. Ah, apakah aku layak untuk melihat mimpimu? Sejenak aku berfikir bimbang memutuskan apakah sebaiknya aku mengintip ke dalam mimpimu. Sepertinya hal itu sangat tidak sopan dan melanggar privasimu. Namun, toh kau adalah istriku. Bukankah semua yang kau miliki adalah milikku dan semua milikku adalah milikmu? Bahkan waktuku dan pikiranku pun adalah milikmu. Hal itu dapat dibuktikan dengan seberapa sering kau masuk ke dalam pikiranku dan bermain bersama imajinasiku. Tidak apalah, sepertinya aku cukup layak untuk menjelajahi mimpimu. Toh aku hanya akan sebentar berada di sana. Kuputuskan untuk melirik sejenak kedalam mimpimu.
Perlahan aku mencoba melepaskan pelukanmu, dengan mempersiapkan beberapa jawaban di kepala jika secara tidak sengaja kau terbangun, maka aku sudah siap untuk berkata, “Aku hanya ingin ke kamar kecil”, atau “Aku ingin mengambil minum karena aku merasa cukup haus” , atau aku bisa memberikan sebuah jawaban yang menyenangkan hatinya, "Aku ingin melihat buah hati kita dan meyakinkan kalau keduanya telah memakai selimut, di sini mulai terasa dingin sayang”, dan beberapa jawaban lain yang sanggup kuberikan dalam hitungan detik. Hemmm. Aku memang terlahir dengan bakat berbohong yang luar biasa. 
Sebelum aku pergi, tidak lupa kau kuselimuti terlebih dahulu dan kembali kucium keningmu. Entah kenapa aku selalu ingin mencium keningmu jika melihat kau tertidur. Aku sudah melakukan ciuman dikeningmu entah tuk keberapa ribu kalinya, namun aku tetap ingin melakukannya. Kututup pintu kamar dengan perlahan dengan harapan kau tetap berada di alam mimpimu. Bergegas aku menuju keluar rumah, aku terperangah. Tak kusangka akan serumit ini. di langit, terdapat ribuan mimpi melayang-layang. Sepertinya semua orang di kota ini sedang bermimpi. Kutatap langit yang penuh dengan mimpi. Aku melihat mimpi-mimpi yang menguasai udara malam ini. Sejenak aku terdiam, dan membayangkan berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menemukan mimpi istriku.
Sejenak kucari diantara tumpukan mimpi yang kian lama semakin banyak dan semakin banyak. Terkadang muncul keinginan untuk melihat mimpi dari kedua anakku. Namun aku tetap tidak menemukan mimpi mereka maupun istriku. Semakin lama aku mencari semakin banyak pula mimpi yang berdatangan. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana mimpi yang sudah aku hampiri dan mana mimpi yang belum aku hampiri. Pekerjaan ini sangat sulit, bukannya menemukan mimpi istriku aku malah terlalu sering menemukan mimpi orang yang menjadi raja dalam mimpinya, atau orang-orang dengan mimpi-mimpi aneh yang aku sendiri tak mengerti, dan terkadang aku memasuki mimpi-mimpi horor yang membuatku merinding ketakutan. Namun tak satupun dari semua mimpi yang aku jelajahi itu milik istriku.
Aku berada dalam tumpukan mimpi yang  semakin membuatku tenggelam hingga tanpa kusadari aku pun bermimpi dalam tumpukan mimpi.
Menjelang subuh, aku terbangun, ternyata aku tertidur di jalanan. Seluruh badanku terasa sangat sakit seakan tulangku remuk. Ach, kenapa aku malah tertidur, bukankah aku harusnya mencari mimpi istriku atau mimpi kedua anakku?
Tapi, sudahlah. Masih banyak malam-malam bagiku untuk mencari dan mengintip mimpi istriku lagi.
Aku pulang ke rumah dengan diam-diam bagai seorang pencuri. Aku tidak perlu takut diteriaki oleh satpam jaga karena sebelumnya secara tidak sengaja aku melihat dia bermimpi menjadi juragan tahu. Setidaknya dia pasti tertidur lebih lama. Sesampainya di rumah, aku melihat istriku masih terbangun dengan wajah yang sama. Wajah yang sangat damai seolah-olah tidak pernah memiliki masalah apapun di dunia ini.
Dan untuk kesekian kalinya aku kembali mencium keningnya dan berbisik ke telinganya “Aku sayang kamu” dengan harapan kata-kata itu dapat didengarnya dalam mimpinya. Sekilas kulihat wajahnya tersenyum. Lalu aku merebahkan tubuh disampingnya dan berusaha untuk tertidur.
“Ayah....ayah.... bangun aku mau sekolah, lihat ayah aku sudah gede, aku mau sekolah” kulihat anakku yang paling sulung Deny Andara menarik-narik tanganku dan berusaha membangunkanku. Itu memang kebiasaanya, membangunkanku dan meneriakiku dengan teriakan  “Ayah..ayah..bangun aku mau sekolah, lihat ayah aku sudah gede, aku mau sekolah”
Dan aku dengan masih terkantuk-kantuk menariknya ke dalam pelukanku aku mendekapnya berpura-pura masih tertidur menjadikannya bantal guling. “Hoaaammm, mana anak ayah, ko nga ada” lalu dengan tertawa riang dia akan berusaha melepaskan pelukanku
“Ayah, ayah, ini aku ayah ini Deny Andara, bukan guling, lepaskan ayah”
Namun aku tetap saja memeluknya dan menjadikannya guling, aku tahu dia sangat suka jika aku berpura-pura tertidur dan menjadikannya guling. Sementara itu adiknya Yeshinta Ramadhani hanya tertawa riang melihat kakaknya kudekap dalam selimut.
Aku sangat mencintai kedua anakku. Deny Andara dengan keinginan sekolahnya yang sangat besar, sama seperti ayahnya dulu. Dan Yeshinta Ramadhani dengan begitu banyak tingkah kocaknya. Benar-benar mirip ibunya
Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur, menuju istriku yang sedang menyiapkan sarapan. Dan kau tahu apa yang dilakukan Andara? Dia bergelayutan di kaki kananku, seolah-olah kakiku adalah sebuah ayunan bagi dia. Aneh, hal itu dulu sangat sering aku lakukan pada ayahku jika dia pulang dari kerja. Bagaimana cara anakku mengetahui hal yang sama untuk bermanja dengan ayahnya?
Entahlah, namun aku merasa memiliki banyak kemiripan dengannya. Wajar saja dia anakku.
Istriku sedang memasak di dapur, entah apa yang dia siapkan buat sarapan pagi ini, namun yang aku tahu, masakannya pasti memiliki rasa yang luar biasa. Belum pernah kutemui masakannya yang tidak sesuai dengan seleraku, entah dimana dia belajar memasak sehebat itu. Dia terlihat sangat sibuk dengan masakannya, kuhampiri dia dan kupeluk dari belakang.
“Apa yang sedang kau masak pagi ini? wanginya enak sekali” kataku sembari mencium pipinya dan tetap memeluk pinggangnya yang ramping. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat menawan dan membalas ciumanku “ini ciuman selamat pagi untukmu
Dia hanya mengucapkan itu dan kembali melanjutkan pekerjaannya sembari sesekali tersenyum jika secara tidak sengaja kami bertatapan.
Hidupku sangat sempurna, entah hal apa lagi yang kuinginkan selain memiliki istri yang selalu ingin kupeluk setiap hari serta dua orang anak yang sangat menggemaskan. Kunikmati sarapan pagi ini dengan bumbu senyuman dari istriku dengan resep keceriaan kedua anakku yang membuat pagiku selalu menyenangkan.
Namun ada satu hal yang masih kupikirkan. Aku sangat ingin mengintip mimpi istriku dan memasukinya serta mencari tahu apa yang selalu diimpikannya. Aku sangat ingin tahu kenapa dia selalu tertidur dengan muka yang sangat nyaman. Walau hidup kami sangat ceria, namun keceriaan itu tidak dapat dijadikan sebagai sebuah alasan yang akurat untuknya memiliki wajah yang sangat damai.
Kulewati beberapa malam dengan berusaha melupakan niat untuk mengintip mimpi istriku. Tak jarang aku mencari pengalihan perhatian dengan menonton sampai pagi, namun aku tidak sanggup mengalihkan perhatianku. Aku tetap penasaran.
Hanya seminggu, hanya seminggu setelah aku berusaha mengalihkan perhatian untuk mengintip mimpi istriku. Malam ini aku berniat untuk mengintip mimpinya lagi.
Setelah dia sudah mulai terlelap. Perlahan aku turun dari tempat tidur dan menuju teras rumahku. Dari teras rumahku kulihat ribuan mimpi menguasai udara malam yang pekat. Sejenak aku mengira-ngira yang mana mimpi dari istriku. Begitu banyak mimpi yang aku lihat, begitu banyak yang aku rasakan. Aku bahkan tidak memiliki satupun kata kunci untuk menemukan yang mana milik istriku.
Malam ini, aku bertekad. Aku harus menemukan mimpinya dan melihat ada apa dengan mimpinya. Aku tidak akan pulang sebelum aku tahu apa yang dimimpikannya.
Aku mencari dalam tumpukan mimpi, berjam-jam aku berusaha dengan begitu teliti. Kuindahkan pekat malam yang selalu ingin mengusirku dengan dinginya yang membuat gigiku bergemeletuk. Namun aku tidak memperdulikannya. Aku harus menemukan mimpi istriku. Aku ingin tahu. Aku tidak kuasa menahan rasa ingin tahuku yang setiap hari selalu menggodaku.
Namun entah kenapa aku tak jua menemukan mimpi itu. Apakah dia tidak bermimpi? ah, itu tidak mungkin. Wajah itu. Aku tahu kalau wajah itu sedang bermimpi. Entah apa yang diimpikannya.
Malam ini, kembali aku tidak menemukan mimpi yang aku inginkan. Aku hanya ingin melihat mimpi dari istriku. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi kenapa aku tidak mampu menemukannya. Dan setiap malam aku selalu melihat wajah damai istriku seperti dia tidak pernah mengenal masalah dan setiap malam pula aku pergi ke jalanan untuk mencari mimpinya. Namun aku tetap tidak menemukannya. Aku tak lagi merasakan ceria pagi hari. Walau senyum kedua anakku selalu mengajakku bercanda, namun aku tak lagi sanggup memberikan senyum yang dulu. Aku mengikuti kemauan anakku, namun entah kenapa aku tidak sanggup menikmati suasana pagi seperti dulu.
Aku selalu memeluk istriku dan ,mencium pipinya dan dia akan membalas ciumanku serta berkata “Ini ciuman selamat pagi buatmu”. Namun entah kenapa aku tak lagi menikmati ciuman-ciuman dan pelukan-pelukan dengannya. Aku tak lagi menikmati candaan dengan kedua anakku. Sarapan pagi yang dulu terasa sangat nikmat hingga aku merasa rugi kalau tidak sarapan di rumah, kini biasa saja.
Seluruh perhatianku, kucurahkan untuk menemukan mimpi istriku.
Malam ini seperti biasa, aku hendak keluar untuk mencari sebuah mimpi yang tak kunjung kutemui. Aku mulai  curiga, jangan-jangan istriku tahu kalau aku selalu keluar tiap malam, namun dia sengaja pura-pura tidak tahu.
Malam ini aku duduk di tepi tempat tidur sembari mengingat sudah berapa lama aku mencari mimpi yang tak kunjung kutemui. Kutatap kembali wajah istriku yang sedang tertidur. Ach, kenapa wajah itu begitu damai, kenapa wajah itu begitu indah. Aku merasakan rindu ingin mengecup keningnya dan membelai pipinya. Ah wajah itu, wajah itu sangat damai.
Dari jendela yang sengaja kubuka gordennya, kulihat jutaan mimpi sedang meraja di angkasa. Namun aku tidak mengindahkanya. Sudahlah, aku sudah letih mencari mimpi selama beberapa bulan belakangan ini. Cukup, aku tidak akan membuang lebih banyak waktu lagi. \
Aku terdiam di pembaringan dan membelai pipi istriku. Aku menikmati masa-masa ini dan melupakan detak detik jam yang berada di belakangku. Dari jendela rumah kami kulihat sebuah mimpi dengan malu-malu mendekat. Aku menatap curiga. Apa yang sedang dilakukan mimpi itu? Kenapa dia semakin mendekat ke rumahku?
Kulihat mimpi yang begitu cerah semakin mendekat dan mendekat. Hingga dia masuk ke dalam kamarku. Penasaran aku mengintip ke dalam mimpi itu. Ya Tuhan, ini mimpi istriku. Mimpi yang kucari-cari selama berbulan-bulan. Dan lihat apa yang ada dalam mimpi itu?
Aku melihat diriku, ya aku melihat diriku. Aku berada dalam sebuah kamar yang sangat familiar. Kamar ini tidak asing. Ini kamar tidurku, kamar yang setiap hari kupakai tidur dengan istriku. Tapi apa yang kulakukan? Kenapa aku terlihat menunduk? Apakah aku menangis?
Oh tidak, aku sedang memperhatikan seseorang yang sedang tertidur. Tapi siapa, aku tidak dapat melihat dengan jelas. Terlihat di mimpi itu aku sedang menunduk dan terlihat seperti mencium. Kudekati diriku dalam mimpi agar aku bisa melihat lebih jelas.
Astaga. Aku melihat diriku sedang mencium kening istriku dan aku melihat diriku sedang membelai pipi istriku. Kemudian aku melihat diriku bermain dengan seorang anak kecil di tempat tidur yang sama. Aku melihat diriku sedang menikmati sarapan pagi di sebuah ruang makan yang sangat aku kenal.
Astaga, inikah mimpi istriku? Inikah mimpi yang selama ini aku cari? Tanpa kusadari beberapa butir airmataku terjatuh. Aku menangis. Aku sudah terlalu lama mencari mimpi. Aku terlalu asyik dengan pencarianku dan melupakan semua yang ada di sekitarku.
Perlahan aku keluar dari mimpi istriku dan kembali ke pembaringan. Kutatap sejenak wajahnya yang tertidur. Wajah itu masih seperti dulu, terlihat begitu damai
Kudekatkan mulutku ke telinganya lalu aku berbisik, “Sayang, maafkan aku
Usai aku membisikkan kalimat itu kulihat air mata mengalir perlahan dari kelopak matanya.
Huufff, kuhembuskan nafas perlahan dan kuberikan lenganku menjadi bantal bagimu. Malam ini aku akan tertidur disampingmu sambil memelukmu hingga pagi menjelang dan aku akan bermimpi lagi.
Tapi aku masih ragu, mimpi yang barusan aku saksikan. Apakah itu mimpi yang dulu aku cari? Apakah mimpi itu tercipta karena sikapku yang semakin berbeda? Mungkin saja bukan..
Lantas mimpi seperti apa yang dimimpikannya yang membuat wajahnya terlihat begitu damai saat tertidur?
Aku masih penasaran...



No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...