Aku sangat ingin menuliskan sebuah
cerita pendek tentang kita berdua. Namun setiap kali aku berusaha untuk
mengabadikanmu dalam tulisanku, maka setiap kali pula aku gagal. Entahlah, aku
tidak tahu kenapa aku tidak sanggup mengabadikanmu dalam cerita-cerita yang
kelak ingin kusampaikan kepada anak cucu kita. Terlebih
kepada Deny Andara dan Yeshinta Ramadhani. Aku ingin menceritakan betapa
perjuanganku untuk mendapatkan ibu mereka hingga mereka ada dalam dunia ini.
Aku juga ingin menceritakan bagaimana dulu kami mencari nama untuk anak mereka.
Padahal saat kami mencari nama, kami bahkan tidak tahu apakah hubungan kami
dapat berjalan lebih jauh.
Malam ini, seperti biasa kau memilih
untuk tidur berbantalkan lenganku, ya itu memang tempat tidur favoritmu,
padahal di sebelahmu terdapat 4 bantal yang bisa kau pergunakan sesukamu.
Entahlah, aku juga sangat menyukai jika kau tertidur dalam pelukanku, walau hal
ini akan berakibat kesemutan dan pegal pada tanganku, namun aku sangat
menginginkannya.
Seperti biasa juga kau tertidur
setelah mendengarkan aku bercerita, mendongengkan kisah yang mengantarkanmu
menuju mimpi yang indah, walau aku tahu mimpi yang indah itu terkadang tanpaku.
Kau tertidur. Tak berapa lama aku bercerita kau tertidur, terkadang dongengku
belum selesai namun kau telah tertidur. Tidak apalah, toh aku menginginkannya,
karena kalau kau tidak tertidur entah apa lagi yang akan kuceritakan.
Kala kau tertidur, inilah saat yang
paling aku suka. Aku suka melihat matamu terpejam, karena kalau dia tidak
terpejam aku tidak sanggup menatapnya untuk waktu yang lama. Rambutmu yang
panjang kubelai dan kucium mesra keningmu. Kuhabiskan waktu berjam-jam untuk
menikmati wajahmu yang sedang tertidur. Ya ampun, bahkan setelah bertahun-tahun
kau menjadi istriku, wajah itu tidak berubah sama sekali. Wajahmu masih saja
seperti seorang anak kecil yang tertidur dalam ribaan seorang ibu. Ingin
rasanya tertawa mengingat masa dimana kau selalu menolak kupanggil bocah, tanpa
sadar aku berkata perlahan “dasar bocah"
Melihat kau tertidur begitu lelap
dengan wajah yang sangat damai, tiba-tiba muncul dalam benakku untuk memasuki
mimpimu dan melihat apa yang sedang kau impikan. Ah, apakah aku layak untuk
melihat mimpimu? Sejenak aku berfikir bimbang memutuskan apakah sebaiknya aku
mengintip ke dalam mimpimu. Sepertinya hal itu sangat tidak sopan dan melanggar
privasimu. Namun, toh kau adalah istriku. Bukankah semua yang kau miliki adalah
milikku dan semua milikku adalah milikmu? Bahkan waktuku dan pikiranku pun
adalah milikmu. Hal itu dapat dibuktikan dengan seberapa sering kau masuk ke
dalam pikiranku dan bermain bersama imajinasiku. Tidak apalah, sepertinya aku
cukup layak untuk menjelajahi mimpimu. Toh aku hanya akan sebentar berada di
sana. Kuputuskan untuk melirik sejenak kedalam mimpimu.
Perlahan aku mencoba melepaskan
pelukanmu, dengan mempersiapkan beberapa jawaban di kepala jika secara tidak
sengaja kau terbangun, maka aku sudah siap untuk berkata, “Aku hanya ingin ke
kamar kecil”, atau “Aku ingin mengambil minum karena aku merasa cukup haus” ,
atau aku bisa memberikan sebuah jawaban yang menyenangkan hatinya, "Aku
ingin melihat buah hati kita dan meyakinkan kalau keduanya telah memakai
selimut, di sini mulai terasa dingin sayang”, dan beberapa jawaban lain yang
sanggup kuberikan dalam hitungan detik. Hemmm. Aku memang terlahir dengan bakat
berbohong yang luar biasa.
Sebelum aku pergi, tidak lupa kau
kuselimuti terlebih dahulu dan kembali kucium keningmu. Entah kenapa aku selalu
ingin mencium keningmu jika melihat kau tertidur. Aku sudah melakukan ciuman
dikeningmu entah tuk keberapa ribu kalinya, namun aku tetap ingin melakukannya.
Kututup pintu kamar dengan perlahan dengan harapan kau tetap berada di alam
mimpimu. Bergegas aku menuju keluar rumah, aku terperangah. Tak kusangka akan
serumit ini. di langit, terdapat ribuan mimpi melayang-layang. Sepertinya semua
orang di kota ini sedang bermimpi. Kutatap langit yang penuh dengan mimpi. Aku
melihat mimpi-mimpi yang menguasai udara malam ini. Sejenak aku terdiam, dan
membayangkan berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menemukan mimpi istriku.
Sejenak kucari diantara tumpukan
mimpi yang kian lama semakin banyak dan semakin banyak. Terkadang muncul
keinginan untuk melihat mimpi dari kedua anakku. Namun aku tetap tidak
menemukan mimpi mereka maupun istriku. Semakin lama aku mencari semakin banyak
pula mimpi yang berdatangan. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana mimpi yang sudah
aku hampiri dan mana mimpi yang belum aku hampiri. Pekerjaan ini sangat sulit,
bukannya menemukan mimpi istriku aku malah terlalu sering menemukan mimpi orang
yang menjadi raja dalam mimpinya, atau orang-orang dengan mimpi-mimpi aneh yang
aku sendiri tak mengerti, dan terkadang aku memasuki mimpi-mimpi horor yang
membuatku merinding ketakutan. Namun tak satupun dari semua mimpi yang aku
jelajahi itu milik istriku.
Aku berada dalam tumpukan mimpi
yang semakin membuatku tenggelam hingga tanpa kusadari aku pun bermimpi
dalam tumpukan mimpi.
Menjelang subuh, aku terbangun,
ternyata aku tertidur di jalanan. Seluruh badanku terasa sangat sakit seakan
tulangku remuk. Ach, kenapa aku malah tertidur, bukankah aku harusnya mencari
mimpi istriku atau mimpi kedua anakku?
Tapi, sudahlah. Masih banyak
malam-malam bagiku untuk mencari dan mengintip mimpi istriku lagi.
Aku pulang ke rumah dengan diam-diam
bagai seorang pencuri. Aku tidak perlu takut diteriaki oleh satpam jaga karena
sebelumnya secara tidak sengaja aku melihat dia bermimpi menjadi juragan tahu.
Setidaknya dia pasti tertidur lebih lama. Sesampainya di rumah, aku melihat
istriku masih terbangun dengan wajah yang sama. Wajah yang sangat damai
seolah-olah tidak pernah memiliki masalah apapun di dunia ini.
Dan untuk kesekian kalinya aku
kembali mencium keningnya dan berbisik ke telinganya “Aku sayang kamu” dengan
harapan kata-kata itu dapat didengarnya dalam mimpinya. Sekilas kulihat
wajahnya tersenyum. Lalu aku merebahkan tubuh disampingnya dan berusaha untuk tertidur.
“Ayah....ayah.... bangun aku mau
sekolah, lihat ayah aku sudah gede, aku mau sekolah” kulihat anakku yang paling
sulung Deny Andara menarik-narik tanganku dan berusaha membangunkanku. Itu
memang kebiasaanya, membangunkanku dan meneriakiku dengan teriakan
“Ayah..ayah..bangun aku mau sekolah, lihat ayah aku sudah gede, aku mau
sekolah”
Dan aku dengan masih
terkantuk-kantuk menariknya ke dalam pelukanku aku mendekapnya berpura-pura
masih tertidur menjadikannya bantal guling. “Hoaaammm, mana anak ayah, ko
nga ada” lalu dengan tertawa riang dia akan berusaha melepaskan pelukanku
“Ayah, ayah, ini aku ayah ini Deny
Andara, bukan guling, lepaskan ayah”
Namun aku tetap saja memeluknya dan
menjadikannya guling, aku tahu dia sangat suka jika aku berpura-pura tertidur
dan menjadikannya guling. Sementara itu adiknya Yeshinta Ramadhani hanya
tertawa riang melihat kakaknya kudekap dalam selimut.
Aku sangat mencintai kedua anakku.
Deny Andara dengan keinginan sekolahnya yang sangat besar, sama seperti ayahnya
dulu. Dan Yeshinta Ramadhani dengan begitu banyak tingkah kocaknya. Benar-benar
mirip ibunya
Aku beranjak dari tempat tidur dan
berjalan menuju dapur, menuju istriku yang sedang menyiapkan sarapan. Dan kau
tahu apa yang dilakukan Andara? Dia bergelayutan di kaki kananku, seolah-olah
kakiku adalah sebuah ayunan bagi dia. Aneh, hal itu dulu sangat sering aku
lakukan pada ayahku jika dia pulang dari kerja. Bagaimana cara anakku
mengetahui hal yang sama untuk bermanja dengan ayahnya?
Entahlah, namun aku merasa memiliki
banyak kemiripan dengannya. Wajar saja dia anakku.
Istriku sedang memasak di dapur,
entah apa yang dia siapkan buat sarapan pagi ini, namun yang aku tahu,
masakannya pasti memiliki rasa yang luar biasa. Belum pernah kutemui masakannya
yang tidak sesuai dengan seleraku, entah dimana dia belajar memasak sehebat
itu. Dia terlihat sangat sibuk dengan masakannya, kuhampiri dia dan kupeluk
dari belakang.
“Apa yang sedang kau masak pagi ini?
wanginya enak sekali” kataku sembari mencium pipinya dan tetap memeluk
pinggangnya yang ramping. Dia hanya menjawab dengan senyuman yang sangat
menawan dan membalas ciumanku “ini ciuman selamat pagi untukmu”
Dia hanya mengucapkan itu dan
kembali melanjutkan pekerjaannya sembari sesekali tersenyum jika secara tidak
sengaja kami bertatapan.
Hidupku sangat sempurna, entah hal
apa lagi yang kuinginkan selain memiliki istri yang selalu ingin kupeluk setiap
hari serta dua orang anak yang sangat menggemaskan. Kunikmati sarapan pagi ini
dengan bumbu senyuman dari istriku dengan resep keceriaan kedua anakku yang
membuat pagiku selalu menyenangkan.
Namun ada satu hal yang masih
kupikirkan. Aku sangat ingin mengintip mimpi istriku dan memasukinya serta
mencari tahu apa yang selalu diimpikannya. Aku sangat ingin tahu kenapa dia
selalu tertidur dengan muka yang sangat nyaman. Walau hidup kami sangat ceria,
namun keceriaan itu tidak dapat dijadikan sebagai sebuah alasan yang akurat
untuknya memiliki wajah yang sangat damai.
Kulewati beberapa malam dengan
berusaha melupakan niat untuk mengintip mimpi istriku. Tak jarang aku mencari
pengalihan perhatian dengan menonton sampai pagi, namun aku tidak sanggup
mengalihkan perhatianku. Aku tetap penasaran.
Hanya seminggu, hanya seminggu
setelah aku berusaha mengalihkan perhatian untuk mengintip mimpi istriku. Malam
ini aku berniat untuk mengintip mimpinya lagi.
Setelah dia sudah mulai terlelap.
Perlahan aku turun dari tempat tidur dan menuju teras rumahku. Dari teras
rumahku kulihat ribuan mimpi menguasai udara malam yang pekat. Sejenak aku
mengira-ngira yang mana mimpi dari istriku. Begitu banyak mimpi yang aku lihat,
begitu banyak yang aku rasakan. Aku bahkan tidak memiliki satupun kata kunci
untuk menemukan yang mana milik istriku.
Malam ini, aku bertekad. Aku harus
menemukan mimpinya dan melihat ada apa dengan mimpinya. Aku tidak akan pulang
sebelum aku tahu apa yang dimimpikannya.
Aku mencari dalam tumpukan mimpi,
berjam-jam aku berusaha dengan begitu teliti. Kuindahkan pekat malam yang
selalu ingin mengusirku dengan dinginya yang membuat gigiku bergemeletuk. Namun
aku tidak memperdulikannya. Aku harus menemukan mimpi istriku. Aku ingin tahu.
Aku tidak kuasa menahan rasa ingin tahuku yang setiap hari selalu menggodaku.
Namun entah kenapa aku tak jua
menemukan mimpi itu. Apakah dia tidak bermimpi? ah, itu tidak mungkin. Wajah
itu. Aku tahu kalau wajah itu sedang bermimpi. Entah apa yang diimpikannya.
Malam ini, kembali aku tidak
menemukan mimpi yang aku inginkan. Aku hanya ingin melihat mimpi dari istriku.
Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi kenapa aku tidak mampu
menemukannya. Dan setiap malam aku selalu melihat wajah damai istriku seperti
dia tidak pernah mengenal masalah dan setiap malam pula aku pergi ke jalanan
untuk mencari mimpinya. Namun aku tetap tidak menemukannya. Aku tak lagi
merasakan ceria pagi hari. Walau senyum kedua anakku selalu mengajakku
bercanda, namun aku tak lagi sanggup memberikan senyum yang dulu. Aku mengikuti
kemauan anakku, namun entah kenapa aku tidak sanggup menikmati suasana pagi
seperti dulu.
Aku selalu memeluk istriku dan
,mencium pipinya dan dia akan membalas ciumanku serta berkata “Ini ciuman
selamat pagi buatmu”. Namun entah kenapa aku tak lagi menikmati ciuman-ciuman
dan pelukan-pelukan dengannya. Aku tak lagi menikmati candaan dengan kedua
anakku. Sarapan pagi yang dulu terasa sangat nikmat hingga aku merasa rugi
kalau tidak sarapan di rumah, kini biasa saja.
Seluruh perhatianku, kucurahkan
untuk menemukan mimpi istriku.
Malam ini seperti biasa, aku hendak
keluar untuk mencari sebuah mimpi yang tak kunjung kutemui. Aku mulai
curiga, jangan-jangan istriku tahu kalau aku selalu keluar tiap malam, namun
dia sengaja pura-pura tidak tahu.
Malam ini aku duduk di tepi tempat
tidur sembari mengingat sudah berapa lama aku mencari mimpi yang tak kunjung
kutemui. Kutatap kembali wajah istriku yang sedang tertidur. Ach, kenapa wajah
itu begitu damai, kenapa wajah itu begitu indah. Aku merasakan rindu ingin
mengecup keningnya dan membelai pipinya. Ah wajah itu, wajah itu sangat damai.
Dari jendela yang sengaja kubuka
gordennya, kulihat jutaan mimpi sedang meraja di angkasa. Namun aku tidak
mengindahkanya. Sudahlah, aku sudah letih mencari mimpi selama beberapa bulan
belakangan ini. Cukup, aku tidak akan membuang lebih banyak waktu lagi. \
Aku terdiam di pembaringan dan
membelai pipi istriku. Aku menikmati masa-masa ini dan melupakan detak detik
jam yang berada di belakangku. Dari jendela rumah kami kulihat sebuah mimpi
dengan malu-malu mendekat. Aku menatap curiga. Apa yang sedang dilakukan mimpi
itu? Kenapa dia semakin mendekat ke rumahku?
Kulihat mimpi yang begitu cerah
semakin mendekat dan mendekat. Hingga dia masuk ke dalam kamarku. Penasaran aku
mengintip ke dalam mimpi itu. Ya Tuhan, ini mimpi istriku. Mimpi yang
kucari-cari selama berbulan-bulan. Dan lihat apa yang ada dalam mimpi itu?
Aku melihat diriku, ya aku melihat
diriku. Aku berada dalam sebuah kamar yang sangat familiar. Kamar ini tidak
asing. Ini kamar tidurku, kamar yang setiap hari kupakai tidur dengan istriku.
Tapi apa yang kulakukan? Kenapa aku terlihat menunduk? Apakah aku menangis?
Oh tidak, aku sedang memperhatikan
seseorang yang sedang tertidur. Tapi siapa, aku tidak dapat melihat dengan
jelas. Terlihat di mimpi itu aku sedang menunduk dan terlihat seperti mencium.
Kudekati diriku dalam mimpi agar aku bisa melihat lebih jelas.
Astaga. Aku melihat diriku sedang
mencium kening istriku dan aku melihat diriku sedang membelai pipi istriku.
Kemudian aku melihat diriku bermain dengan seorang anak kecil di tempat tidur
yang sama. Aku melihat diriku sedang menikmati sarapan pagi di sebuah ruang
makan yang sangat aku kenal.
Astaga, inikah mimpi istriku? Inikah
mimpi yang selama ini aku cari? Tanpa kusadari beberapa butir airmataku
terjatuh. Aku menangis. Aku sudah terlalu lama mencari mimpi. Aku terlalu asyik
dengan pencarianku dan melupakan semua yang ada di sekitarku.
Perlahan aku keluar dari mimpi
istriku dan kembali ke pembaringan. Kutatap sejenak wajahnya yang tertidur.
Wajah itu masih seperti dulu, terlihat begitu damai
Kudekatkan mulutku ke telinganya
lalu aku berbisik, “Sayang, maafkan aku”
Usai aku membisikkan kalimat itu
kulihat air mata mengalir perlahan dari kelopak matanya.
Huufff, kuhembuskan nafas perlahan
dan kuberikan lenganku menjadi bantal bagimu. Malam ini aku akan tertidur
disampingmu sambil memelukmu hingga pagi menjelang dan aku akan bermimpi lagi.
Tapi aku masih ragu, mimpi yang
barusan aku saksikan. Apakah itu mimpi yang dulu aku cari? Apakah mimpi itu
tercipta karena sikapku yang semakin berbeda? Mungkin saja bukan..
Lantas mimpi seperti apa yang
dimimpikannya yang membuat wajahnya terlihat begitu damai saat tertidur?
Aku masih penasaran...
No comments:
Post a Comment