Tadi malam lagi-lagi kau datang tanpa adanya
pemberitahuan. Lewat malam yang selalu pekat kau menyapa bantalku dan mengecup
kelopak mataku. Aku tahu itu kau. Mataku memang terpejam rapat oleh letih yang
menggerogot, tapi aku tahu itu kau.
Tidak akan ada tangan yang menyapa rambutku seperti yang
kau lakukan dan juga tatapan manja yang dulu sering kita obrolkan. Kau masih
dengan senyum kanak-kanakmu.
Kurasakan tanganku menyapa wajahmu, ya dulu aku serring melakukan
hal itu dank au memang sangat menyukainya.
Aku tahu, sudah pasti kau yang menarik lenganku dan
menjadikannya bantal, dan masih seperti dulu bantal-bantal berserakan di
sampingmu namun kau memilih lenganku sebagai bantalmu. Kurasakan jelas kau
beringsut perlahan dan meletakkan telingamu pada dadaku yang sebelah kiri. Kau selalu
ingin mendengar detak jantungku. Katamu itu menyenangkan. Tidak ada yang
berubah. Sama sekali tidak ada.
Cukup lama kau berdiam, tidak ada suara, hanya ada
detakan jam yang entah kenapa begitu terdengar jelas jantungku seolah-olah menyelarasakan
tempo dengan irama jam. Hening, terlalu hening malah. Tidak ada suara angina,
salakan anjing tetangga atau lantunan music. Sudah jelas ini mimpi.
Kubuka mataku perlahan. Kulihat kau tiduran di dadaku
dengan posisi memunggungiku. Rambutmu hamper sepinggang. Teringat dulu aku
pasti sangat marah jika kau memotongnya. Akhirnya kau biarkan juga dia
memanjang seperti ini.
Ada rasa takut untuk sekedar mengusap rambutmu. Aku tahu
ini mimpi. Hanya masalah waktu, pagi datang, aku terbangun dan kau pergi. Kalau
aku mengusapmu aku tahu kau akan hilang seperti di mimpi-mimpi sebelumnya. Atau
apabila aku memintamu mengarahkan wajah padaku, pasti kau akan berubah entah
jadi siapapun. Aku tahu itu. Aku akan membiarkanmu terbaring di dadaku dan
membiarkan arpma parfummmu menyapa indra penciumanku.
“Ini mimpi bukan?” aku bertanya entah pada siapa,
mungkin pada diriku sendiri.
“Menurutmu?” Kau
menjawab dengan suara yang selama ini telah hilang. Sangat menyenangkan bisa
mendengar suaramu kembali.
“Ini pasti mimpi”
“Maka ini akan menjadi mimpi”
Di setiap ucapanmu aku merasakan getaran yang dihasilkan
oleh pita suaramu.
“Lalu sampai kapan kau di sini?
“Sampai kau terbangun.”
“Aku tidak ingin bangun.”
“Tidak mungkin. Semua orang pasti terbangun.”
“Kalau aku terbangun dank au menghilang, buat apa aku
terbangun?’
Terdiam, tidak ada jawaban. Tangan kananmu perlahan
bergerak dan memeluk perutku. Pelukanmu masih sama. Lenganmu yang kecil memeluk
tubuhku dan jarimu menggenggam erat kaus yang sedang aku pakai.
Dulu aku pernah menanyakan kenapa setiap kali kau
memelukku, kau selalu saja menggenggam bajuku dan bahkan kadang-kadang bajuku
sampai kusut.
“Biar pelukannya bisa lebih lama” itu jawaban yang
selalu kau berikan dan selalu saja ada senyuman manja di akhir jawaban itu.
“Hey kenapa kau selalu mencengkram bajuku setiap kali
memelukku? Kenapa?” tidak ada jawaban.
“Hey, kenapa? Dijawab dong.” Aku sangat mengharapkan
jawaban yang sama karena memang aku
sangat merindukan kalimat yang selalu kau ucapkan dan mungkin bila beruntung
aku akan mendapatkan senyuman manjamu.
Tidak ada jawaban. Kau hanya terdiam. Jangan-jangan kau
tertidur. Tidak mungkin kau tertidur. Ini kan mimpi. Bila kau tertidur ke mimpi
mana lagi aku harus mencarimu. Tidak ada percakapan. Kita berdua hanya terdiam.
Perlahan kurasakan dadaku basah.
“Hey, kau menangis? Kenapa kau menangis?” tidak ada
suara. Tidak ada jawaban. Kau bahkan tidak sesengukan. Kau memang seperti itu
jika menangis. Hanya terdiam dan airmata mengalir deras.
Kubiarkan saja kau menangis, toh aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku sangat ingin menghapus airmatamu. Tapi jika kulakukan kau akan
pergi dan menghilang begitu saja.
Kubiarkan saja kau menangis dan entah kenapa ada airmata
yang menetes perlahan dari sela-sela mataku.
Aku dapat merasakan dengan jelas kau menarik kaus yang
kukenakan dan menggunakannya untuk menghapus airmatamu.
Dasar manja, kau masih tetap kau yang selalu menjadikan
baju apapun yang kupakai untuk mengelap airmatamu. Aneh memang, tapi aku
menyukai kebiasaan-kebiasaan anehmu.
Tidak beberapa lama terdengar hembusan nafasmu yang
perlahan dan teratur.
Sudah menjadi kebiasaanmu untuk tertidur seusai
menangis. Jangan-jangan kau tertidur. Kau tidak boleh tidur. Ini hanyalah
mimpi, kalau kau tertidur mau ke mimpi mana lagi aku harus mencarimu?
Hembusan nafasmu terasa semakin teratur. Aku bisa
merasakan dadaku yang basah oleh airmata menerima hembusan nafasmu.
“Hey, kau tidak tidur kan? Jangan tertidur?’
Tidak ada jawaban sama sekali. Hanya bahumu yang naik turun
perlahan mengikuti pola nafasmu.
“Hey bangun, jangan tidur.” Tetap saja tidak ada
jawaban.
Tanpa sadar aku merengkuh tubuhmu dan mengarahkan
wajahmu ke arahku. Saat itu pulalah kau menghilang. Aku bahkan belum sempat
melihat wajahmu. Aroma parfummu yang memenuhi ruangan perlahan-lahan memudar
dan menghilang. Hanya ada aku yang begitu kecewa dan memaki atas kebodohan
sendiri.
Kaus yang kukenakan masih basah di bagian dada oleh air
matamu dan di bagian punggungku terdapat bekas cengkeramanmu.
Entah ke mimpi mana lagi aku harus mencarimu.
Sunter, 6 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment