Di
setiap senja yang selalu kita kumpulkan terdapat serpihan-serpihan yang entah
serpihan apa. Beberapa dari mereka menyimpan aroma parfummu dan beberapa dari
mereka menyimpan noktah lipstikmu. Di dalam stoples kaca bekas permen lolipop
yang dulu kita beli di sebuah pasar malam, para serpihan kukumpulkan dan
kupadatkan. Di atas stoples itu kuberikan label dengan tulisan “sampah” dan
kuletakkan di ruang tamu.
Beberapa rekan
yang kerap berkunjung selalu mengamati para serpihan untuk waktu yang cukup
lama, padahal di tembok ruang tamu terpajang lukisan-lukisan abstrak yang dulu
kubeli dengan harga puluhan juta.
Sementara
senja yang dulu kita kumpulkan kutaruh di dalam bingkai kaca yang kugantung di
teras dengan sorotan lampu yang sedikit remang. Semenjak itu teras tempat kita
dulu menghabiskan senja, kini dipenuhi senja dan selalu sore. Walau demikian,
aku hampir tidak pernah menikmati senja di teras itu. Aku tidak punya waktu dan
kamu untuk menikmatinya. Hanya ada beberapa anak yang entah anak siapa terkadang
bermain dan menatap senja yang tidak pernah mampu mereka habiskan.
Seperti
biasa pada suatu sore yang basah karena memang selalu sore, aku pulang dari
tempat kerja dengan segudang rasa lelah dan kantuk. Lagi-lagi aku tidak punya
waktu dan kamu untuk menatap senja pada
bingkai kaca. Langsung menuju kamar mandi dan setelahnya berbaring di kamar dan
tidur
Belum
beberapa lama tertidur, dari teras terdengar suara gelas pecah berhamburan dan
derap kaki anak kecil yang ketakutan. Suara berisik yang lebih dari cukup untuk
membangunkan saya dari tidur yang tidak nyenyak. Enggan dan malas rasanya
berjalan ke teras untuk mengecek. Berusaha tertidur. Namun sampai beberapa saat
pikiranku selalu megarah kee teras dan suara berisiknya. Berjalan ke arah teras
melewati ruang tamu. Sejenak tercium araoma parfummu yang sangat kuat dan di
lantai terlihat noktah lipstikmu berceceran. Serpihan senja di dalam stoples
meluap hingga memenuhi lantai ruang tamu. Ruangan penuh aromamu dan noktah
lipstikmu terlalu berceceran di lantai.
Kusingkirkan
beberapa serpihan yang menghalangi jalan dan berjalan menuju teras.
Sesampainya
di teras, suasanya terlalu gelap dan pekat. Tidak ada cahaya-cahaya merah dan
jingga yang biasa menghias teras, tidak ada awan-awan kelabu dengan matahari yang
terlihat menjauh, tidak juga suara dari sekelompok camar dan gemericik air atau
angina denga aroma rumput. Kulihat di tembok tidak ada lagi senja. Bingkai kaca
tempat senja yang kita kumpulkan telah pecah dan tergeletak di lantai. Anehnya
bukan senja yang berceceran di lantai. Ada malam yang tak henti menggeliat, ada
gelap dan dingin yang berusaha memeluk segalanya. Awan-awan gelap memutar.
Tidak ada bintang maupun bulan. Malam yang terlalu malam dan dingin yang
terlalu mengundang gemeletuk.
kukumpulkan
malam-malam yang berceceran di lantai. Kucoba memasukkan ke bingkai kaca yang
lain, namun malam yang menggeliat berkembang dengan sangat cepat. Secepat
apapun aku memasukkan mereka ke dalam bingkai. Walaupun bingkai kaca telah
penuh dengan malam yang aku kumpulkan, tetap saja ada malam yang menggeliat dan
berceceran di lantai. Hingga kuputuskan memasukkan ke dalam stoples-stoples
yang aku miliki. Namun tetap saja ada malam yang selalu menggeliat di lantai.
Sunter, 23
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment