Hujan Kecil
Joko Pinurbo
Hujan tumbuh di kepalaku.
Hujan penyegar waktu.
Memancur kecil-kecil.
Merincik kecil-kecl.
Dihiasi petir kecil-kecil.
Hujan masa kecil.
Surat Malam
Joko Pinurbo
dan aku tumbuh menjadi arus
yang menyimpan mimpimu.
Kau menanamku pada kakimu
dan aku tumbuh menjadi jarak
yang membuka jalanmu.
Kau menanamku pada kucingmu
dan aku tumbuh menjadi meong
yang mengancam sepimu.
Kau menanamku pada matamu
dan aku tumbuh menjadi pejam
yang menumpas kantukmu.
Kau menanamku pada tidurmu
dan aku tumbuh menjadi doa
yang menghalau galaumu.
(2013)
Surat Kabar
Joko Pinurbo
Ayah saya seorang loper koranyang sama gigihnya dengan wartawan.
Deadline nasibnya lebih keras dari deadline tulisan.
Ibu suka memungut huruf-huruf di koran
dan membubuhkannya ke dalam kopiku.
“Minumlah, anakku. Kau akan jadi jurnalis jempolan.”
Saya sering mati kata di hadapan peristiwa
ketika di antara baris-baris tulisan
muncul bayangan ayah sedang mengedarkan koran.
Dari koran saya belajar paham
bahwa headline hidup sering muncul
di saat-saat akhir yang rawan.
Entah mengapa selalu ada tangan tak kelihatan
yang menyelamatkan saya
dari ancaman deadline yang kejam.
Ada camar berkelebat di cakrawala halaman koran,
mengantar rindu dari dia yang sabar menunggu.
Beri saya kemewahan membaca koran
sambil minum kopi di pagi hari,
sambil tercenung-cenung membaca tulisan sendiri.
Bulan menemani saya menyiapkan rubrik koran.
Cahayanya menembus mata saya yang kesepian.
Saya letih diburu-buru peristiwa.
Di sebuah gang saya ditangkap oleh sebuah kejadian:
seorang loper koran tercebur ke selokan.
Ibu membuka surat wasiat ayah di hadapan saya.
Ayah berpesan: jika beliau meninggal,
harap jenazahnya dibungkus koran.
Petir
Joko Pinurbo
Petir yang pecicilan ituterkapar dihajar sepi
yang sedang mabuk
di atas sajakku.
No comments:
Post a Comment