Saturday 29 July 2017

Perampok Maling

Perampok Maling

Karya: Sumihar Deny Tampubolon














Bengkel Sastra Jakarta
Dilarang mementaskan naskah ini tanpa seizin dari penulis atau Bengkel Sastra Jakarta



 


Para Pemain :
1.      Maling 1
2.      Reiner
3.      Tahan
4.      Aman
5.      Sabam
6.      Ibu
7.      Indra
8.      Warga 1
9.      Warga 2

Adegan I
Sebuah ruangan dengan cahaya remang-remang. Terlihat seorang pria berusia 40-an dengan tampang sangar  sedang menghitung tumpukan barang yang ada di meja di hadapannya. Sementara 4 orang lain yang ada di dalam ruangan hanya terdiam dengan wajah tegang.

Maling 1             :  Cuma ini? Cuma ini yang kita dapat? Mana yang lainnya?
Reiner                 : (bantu hitung) iya bang. Cuma ada ini. Harusnya kita bisa dapat lebih banyak. Tapi itu, si Tahan, bodohnya luar biasa. Karung yang satu lagi malah dia tinggalkan dan lari. Padahal, aku ingat betul, isinya adalah barang-barang yang paling mahal, karena memang aku sendiri yang memasukkan barang-barang itu ke  dalamnya. Dasar pengecut.
 Tahan                : (menghampiri) bukan begitu bang. Aku cuma takut dikejar warga. Lagipula aku tak tahu dia memasukkan apa saja ke dalam karung. Berat sekali karungnya. Niatnya, aku ingin membawa semua barang itu. Tapi aku tak kuat lari sambil membawa goni itu. Terus sewaktu di dekat sungai aku melihat senter-senter warga semakin dekat. Ya mau tidak mau, terpaksa aku tinggalkan saja goninya. Tapi nanti kalau keadaannya sudah aman, akan aku cek kembali. Siapa tahu masih ada. Aku masih ingat betul tempatnya.
Reiner                 :  Ambil kepalamu. Sudah pasti ada yang melihat goninya. Lagipula, kalaupun masih ada pasti tempat itu sudah diintai oleh warga  dan dijadikan jebakan. Dasar amatir.
Maling 1             :  Heii… Kenapa kalian jadi bertengkar? Yang paling penting kan kita sudah aman sekarang. Lagipula, pendapatan hari ini harus disyukuri. Jangan terlalu tamak.
                              (kepada Reiner) Heh, memangnya apa isinya?
Reiner                 : Banyak bang. Aku yakin itu yang paling mahal. Aku berani jamin.
Maling 1             : Aku tidak tanya banyak atau tidak. Aku tanya apa isinya?
Reiner                 : Nih, isinya itu (berpikir). Aku tidak sempat untuk mengecek isinya. Tapi yang pasti, waktu di kamar kan aku masuk sendiri. Sementara si Tahan dan si Aman menjaga di pintu depan. Aku langsung buka lemari perhiasan, dan ternyata ada banyak laci di sana. Nah, laci dan isinya langsung aku masukkan ke dalam goni. Tidak sempat aku periksa. Tapi yang pasti isinya mengkilap semua. Pasti mahal, aku yakin itu emas asli, atau bahkan juga berlian. Kalau tidak salah lacinya ada 4. Terus, di kamar itu kan ada TV, langsung aku masukkan juga. Itu aku ingat betul. Jam dinding juga ada bang. Dan waktu itu aku juga lihat ada gitar listrik, aku masukkan juga. Gitarnya bagus. Aku tahu dia punya selera musik yang bagus, jadi pasti gitarnya gitar mahal. Selain itu juga ada beberapa benda yang tidak sempat aku kenali karena terlalu gelap, tapi langsung aku masukkan semua ke dalam goni.
Maling 1             : Uang. Bagaimana dengan uang. Ada yang kau ambil? Pasti di sana ada uang juga kan?
Reiner                 : Ah, aku tidak menemukan uang bang. Aku yakin uang ada di bawah kasur di dalam kamarnya. Eh tiba-tiba, si Aman yang memang amatir ini, menyenggol rak piring dan piring-piring berjatuhan semua. Aku tidak tahu kenapa dia bisa ada di dapur. Lagipula, untuk apa dia ke dapur? Sudah aku bilang, dia jaga-jaga di jendela saja dan mengamankan barang yang berhasil aku sikat. Tapi dia tidak sesuai dengan rencana itu.
Maling 1             : Prioritas utama kita harusnya uang. Jangan barang-barang aneh. Kan sudah sering aku bilang. Kau, Aman, Kenapa kau malah masuk ke dalam rumah? Kan tugasmu sudah jelas. Kau berjaga-jaga di luar. Kalo tidak di bawah jendela, ya di dekat pintu keluar dan mengamankan semua barang, sesuai  dengan namamu itu. Kenapa kau malah masuk ke dalam rumah? Yang lebih parah lagi, kenapa kau juga sampai masuk ke dalam dapur? Lapar kau? Hah?
Aman                 :  Maaf bang. Tadinya aku memang berjaga di bawah jendela menunggu aba-aba dari bang Reiner. Tapi sampai setengah jam, dia tidak juga keluar membawa barang. Aku takut setengah mati. Aku kira dia ada masalah di dalam. Selain itu, aku melihat dua orang ronda yang sedang patroli. Mereka lewat dari depanku, hampir saja aku kena sorotan senter mereka. Jaraknya dekat sekali, kalau saja pagar rumah itu tidak penuh dengan tanaman menjalar, aku yakin dia pasti sudah melihat dan menangkapku.
Maling 1             : Apa kau bilang? Petugas ronda lewat?
                              Sabam, apa kerja kau hah? Bukankah seharusnya kau di posko ronda, main leng? Kan aku sudah bilang, tidak boleh ada petugas ronda yang meninggalkan pos.
Sabam                : Heh, heh, heh. Maaf bang. Sebenarnya semua sudah sesuai dengan rencana pada awalnya.
Maling 1             : Sudah sesuai rencana bagaimana? Lalu kenapa sampai ada petugas ronda yang patroli hah?
Sabam                :  Jadi, jadi begini bang. Pada awalnya aku sudah beli kartu baru. Aku tahu mereka tidak suka memakai kartu yang lama dan usang. Lalu, aku ajak petugas ronda untuk main. Sengaja aku naikkan taruhan agar mereka enggan meninggalkan pos ronda. Permasalahannya, main leng kan cuma butuh  5 orang pemain saja, sementara di sana ada 6 orang yang jaga pos, ditambah aku jadi ada 7 orang. Nah, sewaktu kami sedang main, dua orang yang lain ternyata merasa bosan karena hanya menonton saja. Jadi, daripada mengantuk mereka memilih untuk jalan-jalan berkeliling, sekalian berjaga. Juga sekalian mengambir air dari rumah si Unan. Kebetulan air di posko lagi habis.
Maling 1             : Kenapa kau biarkan mereka pergi? Kau kan bisa halangi mereka. Harusnya kalaupun ada yang harus pergi mengambil air, kau saja yang pergi. Agar mereka-mereka ini tidak ketahuan.
Sabam                : Yah bang. Kan tadi sudah kubilang, aku mengajak mereka main leng. Bahkan taruhan pun sudah aku naikkan. Memang, kebetulan aku menang, dan menjadi sedikit terbawa suasana. Dan dua orang yang pergi mengambil air minum itu takut ketiduran  di pos ronda. Kata mereka, mereka takut dimarahi sama pak Kepala Desa. Katanya abang habis memarahi petugas ronda yang ketiduran. Mereka takut sama abang. Lagipula, kenapa harus dimarahi bang? Harusnya kan petugas ronda disuruh santai saja, biar kita bisa lebih leluasa dan lebih jauh dari bahaya saat beroperasi.
Maling 1             : Bodoh. Kau belum belajar rupanya.
                              Di luar sana, aku harus bertindak sebagai kepala desa yang baik. Tentu saja petugas ronda aku marahi habis-habisan karena banyaknya kasus-kasus kemalingan. Itu artinya mereka lalai mengerjakan tugas sebagai ronda. Ya walaupun pelakunya adalah kita-kita ini. Ini semua kan demi menjaga reputasi saya sebagai kepala desa dan kita bisa tetap beraksi walaupun ada ketakutan akan ketahuan oleh para ronda. Rasa takut itu perlu, karena akan membuatmu lebih waspada dan matang. Rasa takut itu hanya perlu dikalahkan tidak dimusnahkan. Ah, harusnya kau bisa lebih cerdas.
Aman                 : Iya bang, ini salahnya si Sabam bukan salahku. Kalau saja petugas ronda tidak partoli, tentunya aku tidak takut. Aku masuk ke dapur karena aku takut ketahuan. Sewaktu aku masuk ke dalam rumah, tujuanku sebenarnya adalah ke tempat bang Reiner untuk mengambil barang sekaligus mau mengingatkan dia. Tapi aku tidak tahu dimana letak ruang kerjanya. Dan kebetulan rumah itu cukup gelap, lampunya banyak yang mati. Penerangannya hanya dari lampu teras yang tembus melalui jendela kaca. Jadinya aku salah masuk ruangan.
                              Sewaktu di dapur, aku takut setengah mati bang. Aku melihat benda putih mirip kepala dengan rambut yang putih juga dan melayang-layang. Aku kira ada setan. Karena reflex, aku melompat mundur dan menabrak rak piring. Itulah kenapa aku menjatuhkan piring-piring yang ada di dapur dan semuanya jadi kacau. Sewaktu piring-piring itu terjatuh, aku sempat mengecek benda putih mirip kepala itu. Ternyata itu cuma kain pel yang digantung terbalik.
Reiner                 : Ah, apa kubilang? Dasar penakut, amatiran. Harusnya kau ganti tugas, atau tidak ikut saja sekalian. Masa kau takut sama setan? Kau tidak malu dengan badanmu yang besar itu? Kau membahayakan nyawa seluruh orang yang ada di sini, tahu kau?
Aman                 : Tapi bang, bukan begitu. Sebenarnya aku tidak begitu takut sama setan. Hanya saja aku sudah terlalu takut dengan munculnya 2 orang ronda itu. Coba abang bayangkan kalau abang ada di posisiku? Aku hanya kaget, bukan takut.
Maling 1             :  Aman,  jadikan ini sebagai  pelajaran. Minggu lalu kau kan sudah kuajak ke rumah Pak Luhut. Kau pikir apa tujuanku ke sana? Kau pikir aku datang ke sana hanya untuk minum teh bersama dia? Lalu mengobrol tidak jelas menghabiskan sore? Coba kau pikir baik-baik. Kenapa aku datang langsung ke rumahnya dan memberikan KTP pada anaknya? Kenapa?
                              Bukankah pada umumnya, warga yang seharusnya datang ke rumahku dan mengurus langsung?
                              Tujuan utamaku ke sana hanyalah untuk mengajakmu, agar kau mengenal rumahnya, tahu bentuk rumahnya. Ini namanya persiapan. Si Reiner tidak perlu ikut ke rumah Pak  Luhut, karena dia sudah ikut menjadi tukang yang membangun rumahnya. Jadi sudah pasti dia tahu seluk beluk rumah itu, bahkan mungkin lebih baik dari yang punya rumah itu sendiri. Rumah itu besar dan besar pula kemungkinan kau akan nyasar di sana. Kita memang sudah membuat denah rumah dan membicarakan strateginya di sini. Tapi itu masih kurang. Hasil yang bagus datangnya dari persiapan yang bagus. Nah, kenapa kau tidak datang waktu aku ajak ke rumah Pak Luhut.  
Aman                 : Maaf bang. Sebenarnya aku sangat ingin datang ke rumah itu. Tapi aku harus menjaga ibuku yang sedang dirawat di rumah sakit. Aku terlalu takut meninggalkan dia, waktu itu tidak ada yang menjaganya. Alasan utama aku ikut perampokan ini kan juga untuk bayar biaya rumah sakit.
                              Tapi ini memang salahnya si Sabam. Kalau dia melakukan tugasnya dengan benar, pasti aku tidak akan takut dan semua pasti aman dan lancar.
Sabam                : Eh sembarangan. Kau bilang aku tak becus dalam misi ini? Kau sendiri hanya bisa minta maaf dari tadi. Kalian tentu tidak tahu, bagaimana kalian bisa kabur dan warga tidak menangkap kalian. Terpaksa aku harus cerita. Sebenarnya aku tidak ingin membesar-besarkan jasaku, tapi keadaan memaksa.
                              Baiklah, aku harus ceritakan kejadiannya. Dengarkan baik-baik, terutama kau Aman.  Sewaktu si Unan kembali ke pos ronda, dia tidak membawa air. Petugas ronda yang lain langsung curiga dan menduga adanya sesuatu yang tidak beres.
                              Kemudian dia cerita kalau dia mendengar piring dan kaca berjatuhan di rumah Pak Luhut, tapi dia tidak berani langsung mengecek ke lokasinya. Jadi, dia bersama si Agus, memutuskan untuk melapor lebih dulu ke pos ronda dan meminta bantuan dari petugas ronda yang lain. Dia langsung menyadari kalo di rumah Pak Luhut sedang ada maling, dengan kata lain kalian sudah ketahuan. Si Unan mengatakan, dia melihat jendela rumah Pak Luhut terbuka dan ada bayangan orang yang mengendap-endap. Aku yakin itu pasti bayangan si Tahan atau si Aman. Kalau bang Reiner aku tidak begitu yakin, karena dia pasti sedang ada di ruang kerja Pak Luhut, yang tentu tidak kelihatan dari luar. Benar begitu bang?
                              Si Agus bilang begini “Ada maling di rumah Pak Luhut. Aku melihatnya, tapi malingnya belum tahu kalau mereka sudah ketahuan. Ayo kita tangkap, kita hajar mereka. Pukul kentongannya, bangunkan warga segera. Sepertinya malingnya cukup banyak”, dia sangat berapi-api mengatakannya.
                              Mendengar laporan si Unan dan si Agus, aku langsung tahu kalau maling yang dimaksud ya kalian. Lantas aku langsung berdiri dan pura-pura marah “Apa? Maling lagi? Kurang ajar mereka, kali ini akan kuhajar mereka semua akan kupatahkan kaki dan tangan mereka. Awas kalian ya”.
                              Sambil marah-marah aku pura-pura mencari senjata yang bisa digunakan untuk memukul. Kalian tahu apa yang aku ambil? Aku mengambil pemukul kentongan. Itu memang rencanaku sejak awal. Tentunya, supaya kentongan tidak bisa dibunyikan.
                              Aku langsung lari menuju rumah Pak Luhut untuk mengingatkan Bang Reiner dan yang lain. Aku tahu mereka tidak akan langsung berani ke tempat kejadian. Mereka tentunya takut berhadapan langsung dengan maling. Pada umumnya manusia tidak akan berani berhadapan dengan maling jika tidak ramai-ramai.
                              Sewaktu aku berlari, aku mendengar si Unan berteriak mengingatkanku bahwa aku membawa pemukul kentongan, tapi tentu saja aku pura-pura tidak mendengarkannya.
                              Paling tidak, mereka akan butuh waktu mencari pemukul kentongan dan membangunkan warga.
                              Begitulah kenapa warga tidak bisa menangkap kalian, aku memberikan waktu yang lebih dari cukup bagi kalian untuk bisa melarikan diri.
 Maling 1            : Kau benar Sabam, jasamu besar. Tapi jangan lupa, itu memang sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang di sini untuk saling menjaga. Lalu, kalau Sabam sudah memberi peringatan terlebih dahulu, harusnya kalian sempat kabur dengan barang rampasan kan?
Tahan                 : Memang benar si Sabam sudah memberi peringatan, tapi masalahnya jadi rumit bang. Tidak semudah yang Sabam pikirkan.
Maling 1             :  Maksudmu bagaimana? Tidak semudah yang Sabam pikirkan?
Tahan                 : Iya bang. Memang, dia memberi waktu bagi kami dari kejaran warga. Tapi jangan lupa, si Aman kan menjatuhkan piring di dapur. Gara-gara suara berisik dari piring yang berjatuhan, Pak Luhut dan istrinya terbangun. Awalnya aku dan Bang Reiner sudah berniat untuk mengikat mereka di tempat tidur selagi mereka tertidur. Tapi sayangnya, kamarnya terkunci dari dalam dan kunci pas yang abang berikan tidak berfungsi. Aku dan Bang Reiner memutuskan untuk mengganjal pintunya dari luar. Sialnya, sewaktu mengganjal pintu kamarnya ternyata anaknya Pak Luhut yang ada di kamar sebelahnya terbangun dan hendak membuka  pintu. Jadinya kami menahan 2 pintu secara bersamaan. Demi tuhan, aku sangat takut saat itu.
                              Kalau sampai pintunya terbuka, habislah kita semua. Pak Luhut dan anaknya pasti mengenaliku. Sarung yang menutupi muka tidak berfungsi banyak.
Reiner                 : Iya bang, benar itu. Sebenarnya aku juga takut, tapi hanya sedikit. Aku dan si Tahan berusaha menahan pintu.
                              Lalu, anaknya teriak “Pak, kok ini pintunya tidak bisa dibuka? Pak, bukain pintu kamar aku, tadi ada apa itu di dapur?”
                              Dia ngomong begitu bang. Dan yang membuat saya semakin deg-degan ialah ketika Pak Luhut malah menjawab omongan dari anaknya “Bentar ya nak, ini pintu kamar bapak juga susah dibukanya”, mereka malah mengobrol bang, dari kamar ke kamar.
                              Sebenarnya saat itu mereka belum tahu kalau ada aku dan si Tahan yang menahan pintu mereka. Aku tahu cara menahan pintu hingga seolah-olah gagangnya sedang rusak, itu keahlianku. Tapi memang dasar si Aman, sudah penakut, bodoh pula.
                              Pak Luhut ngomong lagi sama anaknya “ Pintu kamu sudah bisa dibuka belum? Ini kayaknya macet deh. Tadi paling ada kucing yang menjatuhkan piring.”
                              Pak Luhut ngomong begitu bang. Nah, sewaktu Pak Luhut ngomong begitu, si penakut bodoh ini melihat kami berdua yang sedang menahan pintu. Bukannya membantu mengikat gagang pintu pakai kain atau apalah agar pintunya bisa tertahan, dia malah mengeong. Dia mengeong bang. Ya jelas saja ketahuan kalau ada orang lain di rumahnya.
Maling 1             : Mengeong? Kau mengeong? Bodoh sekali kau. Apa yang ada di otakmu?
Aman                 : Bang, dengar dulu. Itu memang rencanaku agar mereka mengira kalau yang menjatuhkan piring itu memang seekor kucing.
Reiner                 : Tuh kan bang, memang bodoh dia. Tidak tanggung-tanggung bodohnya. Astaga…, kenapa aku harus mengenalmu, Aman.
Tahan                 : Harusnya kau diam saja dan bantu mengikat gagang pintu, bukannya menyamar jadi kucing.
Aman                 : Bang, dengar dulu. Kan sudah aku  bilang itu bagian dari  rencana. Aku jago meniru suara kucing. Nih buktinya (Menirukan suara kucing dan ternyata benar-benar mirip dengan suara kucing) mirip kan bang?
Maling 1             : Astaga, kenapa bisa semirip itu? Apa kau pernah menelan anak kucing hidup-hidup? Lantas kalau kau bisa meniru sebagus itu, harusnya kalian tidak ketahuan kan? Mereka pasti benar-benar menyangka itu suara kucing sungguhan.
Aman                 :  Itu dia bang masalahnya. Kan sudah kubilang itu bagian dari rencana. Harusnya semua lancar. Aku memang penakut, tapi aku punya kemampuan yang mendukung dalam misi ini.
                              Setelah aku mengeong, dua orang ini bang, bukannya mengucapkan terimakasih atas bantuanku mereka malah berteriak dengan kencang “Dasar bodoh, tolol”.
                              Tidak Cuma itu bang. Bang Reiner langsung menjitak kepalaku dengan kencang. Ini, masih ada benjolannya. (menyodorkan kepalanya)
Maling 1             : Ini namanya kurang koordinasi. Harusnya kau memberi tahu yang lain. kenapa bisa berantakan begini? Padahal rencana yang kuberikan sudah jelas. Kalian tinggal mengikuti saja. Jadi kalian ketahuan karena si Reiner dan si Tahan berteriak “Goblok” ke kau Aman?
Aman                 : Iya bang. Harusnya mereka tertipu itu dan tidak menyadari ada orang di dalam rumahnya. Tapi ya begitulah keadaannya.
Reiner                 : Bang, kenapa aku jadi ikutan salah? Bayangkan dalam kondisi segenting itu ada orang mengeong. Aku tidak punya waktu untuk mendengar dan berfikir bahwa meongannya itu sangat mirip dengan aslinya. Ini solusi yang terlalu konyol. Lagipula, tanpa konfirmasi yang tepat bagaimana mungkin aku bisa menyadari hal itu?
Maling 1             : Ah, sudahlah. Tak usah dibahas. Lalu bagaimana dengan Pak Luhut? Kalian tidak melanggar kode etik kita kan? Bagaimana kalian keluar hingga meninggalkan barang sebanyak itu?
Reiner                 : Iya bang. Kami tidak melanggar. Walaupun si Tahan sempat punya niat yang tidak benar. Sewaktu si Aman mengeong, aku memang tidak sadar dan refleks memukul kepalanya sambil teriak. Tapi aku tidak sengaja. Itu hanya respon yang terlalu tiba-tiba atas tindakan yang terlalu tiba-tiba juga.
                              Teriakan kami sudah tentu didengar oleh Pak Luhut. Dia langsung sadar bahwa ada maling di rumahnya. Dia langsung teriak begini bang “Siapa itu? Maling ya maling….. Maling...”
                              sewaktu dia teriak, anaknya yang ada di kamar sebelah malah menangis. Kalau pembantunya sudah tidak jadi masalah. Karena pembantu di sana kan istri dari si Sabam, jadi memang sudah diatur. Demikian juga dengan pekerja lain seperti supir dan tukang taman. Semua sudah diatur agar mereka pulang. Tapi lagi-lagi ada salah koordinasi, harusnya bisa saja istri si Sabam mengambil kunci mobil dan kita bisa bawa mobilnya Pak Luhut. Dapat jarahan besar kita harusnya bang. Masalahnya sewaktu kejadian, istri si Sabam malah mengunci diri di dalam kamarnya dan tidak mau membantu sama sekali. Padahal kan dia bisa membantu.
Sabam                : Heh, kenapa jadi istriku yang disalahkan? Dia kan bukan maling. Profesional sedikit dong. Dia sudah cukup banyak membantu dengan mengatur agar pekerja-pekerja lain tidak ada di rumah sewaktu kejadian. Tentunya itu bukanlah hal yang gampang, tapi dia berhasil melaksanakan tugasnya. Kalau masalah takutnya dia, wajar saja dia takut. Dia kan baru kali ini ikut dalam misi yang seperti ini. Lagipula, tidak ada kesepakatan mengenai mobil. Kenapa tiba-tiba Bang Reiner punya ide mengenai mobil dan menyalahkan istriku? Toh pada dasarnya dia bukan maling, dia itu hanya istri dari maling, bukan maling.
Maling 1             : Reiner, kan sudah kukatakan. Tetap pada rencana. Dalam rencana kali ini tidak ada disinggung mengenai mobil. Dan untuk istri Sabam, dia sudah melakukan tugasnya dengan baik. Dia akan mendapat bagian sesuai tugasnya.
                              Kalau masalah mobil memang tidak akan kita ambil. Susah untuk mencairkannya menjadi uang. Kan sudah aku ingatkan, fokus pada perhiasan dan uang.
                              Zaman sekarang mengantarkan barang ke kota sedang susah. Beberapa rekanku di Medan sana sudah ditangkap polisi, dan hal ini semakin membuat susah para maling-maling lokal seperti kita ini dalam pencairan uang. Sepertinya polisi-polisinya sedang ingin meminta uang tambahan atau sedang mencari nama baik. Aku juga tidak mengerti. Tapi yang pasti pengawasan sedang ketat. Bah…, pembahasan kita jadi kemana-mana. Tadi kan aku tanya, bagaimana dengan pak Luhut dan istrinya?
Reiner                 : Iya bang maaf, tapi itu mobil yang bagus bang.
Maling 1             : Bagus kepalamu? Sudah aku bilang, sedang sulit mencairkan uang saat ini. Mau ditaruh di mana mobil itu? Mau disimpan di rumahmu? Di dapurmu? Tuh liat, (menunjuk pojokan) piano gereja yang kita ambil sebulan yang lalu saja belum bisa dijual. Sekarang ini sedang dalam masa sulit, itulah kenapa aku bilang, fokus pada uang dan perhiasan saja. Kalau perhiasan masih lebih mudah proses pencairannya. Jangan tamak kau Reiner. Bagaimana dengan Pak Luhut?
Reiner                 :  Iya bang, iya.
                              Sewaktu Pak Luhut teriak, si Tahan langsung mengambil kursi kayu dan bersiap-siap memukul kalau Pak Luhut keluar.
Maling 1             : Tahan, kau mau memukul Pak Luhut? Kau memang lebih bodoh dari kelihatannya. Kau ini maling atau pembunuh?
Tahan                 : Tapi kan tidak jadi bang. Aku tidak memukul dia.
Reiner                 : Iya tidak jadi. Kalau aku tidak segera menarikmu, tentu saja kau bakal mendobrak pintu dan menghajar Pak Luhut, bahkan istrinya juga. Iya kan?
Tahan                 : Ini hanya inisiatif bang. Aku takut ketahuan.
Maling 1             : Terus bagaimana kalian keluar? Bagaimana dengan Pak Luhut? Tidak selesai-selesai kau cerita.
Reiner                 : oh iya bang. Sewaktu si Tahan mengangkat kursi dan bersiap di depan kamar pak Luhut, aku langsung menarik dan membuang kursinya. Sebagai gantinya aku berikan dia goni yang seharusnya dia bawa. Lalu aku mengambil barang-barang yang aku bungkus di dalam sarung, yaitu barang-barang ada di meja ini.
                              Sebenarnya, kalau dipikir-pikir walaupun Pak Luhut teriak-teriak dan anaknya menangis, aku yakin tidak akan ada yang datang.
                              Jarak rumah warga yang lain kan cukup jauh dengan rumahnya, dan pekarangannya lumayan luas. Tentu tidak akan ada yang datang, lagipula warga sudah pada tertidur. Walaupun rumahnya dekat dengan jalan, tapi siapa yang akan lewat pada jam segitu. kecuali tukang ronda yang 2 orang tadi.
Maling 1             : Makanya aku sering berkata “Jangan buru-buru dan berusahalah setenang mungkin.” Kita ini maling profesional. Ah terus bagaimana? Belum selesai kau cerita.
Reiner                 : kan abang sendiri yang memotong. Goni yang besar aku berikan pada si Tahan. Saat itu dari jendela yang terbuka si Sabam muncul. Aku sempat kaget juga, aku pikir warga yang datang. Lagipula, kondisinya remang-remang. Nah, si Aman lagi-lagi bertindak bodoh. Dia malah teriak minta tolong. Lalu dia lari menjauh dari jendela yang seharusnya dia membantu si Tahan dengan goni yang besar itu
Aman                 : Ake reflek bang. Si Sabam masuk dari jendela dan terlihat seperti warga yang siap memukulku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena gelap sekali di sana.
Maling 1             :  Lalu kenapa kau minta tolong? Kau kan maling. Ah, kau tidak sadar sedang jadi siapa rupanya. Kalau Pak Luhut yang minta tolong itu wajar saja, tapi kau kan maling. Tidak seharusnya kau teriak minta tolong.
Aman                 : Meminta pertolongan disaat terdesak kan sudah menjadi sifat natural manusia bang, kejadian itu di luar kesadaran.
Sabam                : Aku juga kaget bang. Aku terburu-buru agar bisa sampai lebih dulu dari ronda yang lain. Makanya, begitu melihat jendela yang masih terbuka aku langsung masuk ke dalam. Eh, sialnya bertepatan dengan mereka yang sudah mau keluar. Jadinya si Aman malah lari ke dalam rumah sambil teriak minta tolong. Suasana di sana sangat kacau. Begitu bang Reiner sudah tenang, aku bilang kalau kita ketahuan dan sebaiknya lari saja. Waktu mau lari, kita tidak bisa langsung lari. Si Aman masih di dalam rumah dia sembunyi di balik lemari. Untung si Tahan melihatnya dan menariknya. Tapi itu butuh waktu. Sepertinya tukang ronda sudah mencari pemukul kentongan yang baru. Lantas membuat beberapa warga langsung menuju rumah Pak Luhut. Aku tahu karna aku melihat cahaya senter yang mengarah ke rumahnya.
Maling 1             : Iya, iya, kalau itu aku sudah tahu. Aku kan ikut bersama warga. Begitu kentongan dipukul, aku langsung ke sana. Siapa tahu mereka pakai senjata api. Aku katakan pada mereka agar menunggu warga yang lain dan  menyiapkan rencana. Tentunya ini hanya usaha untuk memperlambat, agar kalian sempat lari.
Reiner                 : Iya bang, kami tahu pasti abang melakukan tugas abang. Tapi saat kami lari menuju sungai, beberapa warga mengejar kami. Dan sepertinya warga terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama tentu dengan abang yang menunggu di tikungan. Tapi kenapa ada juga kelompok warga yang mengejar kami ke sungai? Saat kami lari, di belakangku ada cahaya-cahaya senter yang mengikuti.
Tahan                 : Iya bang, makanya aku meninggalkan karung goni di dekat sungai. Aku takut ketahuan
Sabam                : Hehehe, sewaktu mengejar, aku sedikit terbawa suasana, dan tanpa sadar berlari ke arah sungai. Lalu beberapa warga malah mengikutiku.
Maling 1             : Jadi kau mengejar ke arah sungai? Kenapa tidak ke arah lain? Bagaimana bisa kau terbawa suasana sampai seperti itu?
Sabam                : Aku khilaf bang, bukan itu maksudku. Setelah mereka keluar dari rumah dan berlari ke arah sungai, aku langsung memutar keluar dari rumah dan seolah-olah baru datang. Aku teriak “Maling, maling, ayo kita tangkap mereka.” Maksudku aku ingin menyamar agar tidak dicurigai, aku juga bilang “Malingnya masih ada di rumah, aku melihat ada orang di rumah”. Beberapa orang langsung masuk ke rumah Pak Luhut, dan membuka pintu kamarnya. Pak Luhut yang kemudian memberi tahu warga kalau malingnya ternyata sudah kabur. Lalu beberapa warga langsung inisiatif mencari malingnya. Pas lagi cari-cari malingnya, ternyata di kebun jagung juga terlihat cahaya senter. Di situlah aku terbawa suasana. Karena reflek, aku teriak “ada lampu di kebun jagung”. Nah, warga langsung mengejar ke arah ladang jagung. Aku tidak salah. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata yang pakai senter itu ya salah satu dari mereka.
Maling 1             : Siapa yang pakai senter malam-malam? ya jelas saja kalian ketahuan. Katakan, siapa yang pakai senter?
Reiner                 : Kan sudah aku bilang bang, si Aman ini memang seorang amatir parah. Sewaktu kita lari, tiba-tiba dia menyalakan senter. Aku lari di paling depan. Dibelakangku si Tahan dan si Aman. Tiba-tiba ada senter yang menyala. Aku kaget. Kupikir warga sudah sedekat itu. Bayangkan bang, aku lari tunggang langgang di ladang jagung sampai beberapa kali terjatuh dan tersayat daun-daun jagung. Sewaktu kulihat ke belakang, ternyata si Aman yang lari sambil menyalakan senter. Otomatis aku buang senternya. ya itu senternya si Aman yang ditemukan sama warga.
Maling 1             : Astaga Aman, Aman. Apa yang ada di kepalamu itu? Kenapa kau malah menyalakan senter? bukannya ikut membantu si Tahan membawa goni itu?
Aman                 : Pada kenyataannya bang, aku sempat membantu si Tahan mengangkat goni, tapi,… waktu itu malam dan gelap sekali bang. Aku tidak bisa melihat jalan dengan baik. Beberapa kali aku terjatuh, tersandung batang-batang jagung. Karena itu, aku berinisiatif menyalakan senter untuk menerangi jalan untukku dan si Tahan. Tapi seperti yang sudah abang Reiner jelaskan tadi, dia langsung membuang senterku sambil marah-marah. Padahal kalau terus berlari tanpa tahu tujuan berlari ya tidak akan sampai ke tujuan. Abang tentu juga tahu sendiri, bagaimana kondisi ladang jagung di malam hari. Aku tidak tahu ke arah mana harus berlari,
Maling 1             :  Ah, bodoh, bodoh bodoh kau.  Apa susahnya sedikit menghafal jalan keluar? Kau hanya harus berlari lurus. Nanti juga akan sampai ke ujung kali. Apapun yang terjadi, saat dikejar warga dilarang menggunakan jenis penerangan apapun. Itu hanya akan menjadi petunjuk yang sangat jelas untuk memeberitahu posisi kalian kepada warga yang sedang mengejar.

Di saat mereka sedang berdiskusi, terdengar ketukan di pintu masuk. Lalu seorang ibu rumah tangga memasuki ruangan.
Ibu                      : Pak, apa masih lama? Ada yang mau aku bicarakan. Penting.
Maling 1             :  Ah, kenapa kamu masuk ke sini? Kan kamu aku larang untuk datang ke tempat ini. Aku sedang ada rapat penting sekarang.
Ibu                      : Tapi ini mendesak. Aku juga baru dapat kabar ini. Bapak harus segera tahu. Kalau ditunda-tunda malah repot nanti.
Maling 1             : Memangnya ada apa? Langsung ngomong saja. Ini sedang tidak bisa ditinggalkan.
                              Aku sedang dalam rapat penting.
Ibu                      : Yasudah kalau mau diberitahu sekarang. Sebenarnya aku tidak ingin membuat  bapak panik. Anakmu, sebentar lagi pulang. Dia sudah sampai di persimpangan jalan. Tidak lama lagi akan sampai di rumah. Aku tahu dari tukang becak yang mengantarkan tetangga. Katanya dia sedang menunggu becak untuk pulang.
Maling 1             : Lah? Kok bisa begitu? Kenapa dia tiba-tiba pulang? Tidak ada masalah dengan kuliahnya kan? Kenapa dia tidak memberi kabar lebih dulu?
Ibu                      :  Aku tidak tahu kenapa dia pulang tanpa memberi kabar. Tapi sepertinya tidak ada masalah dengan kuliahnya. Toh ini sedang musim liburan. Anak-anak tetangga yang lain juga pulang untuk liburan.
Maling 1             : Aduh…, kacau ini. Kenapa dia tidak memberi tahu terlebih dahulu?
                              Sudah sampai persimpangan jalan lagi. Sebentar lagi pasti sampai di rumah. Aku harus segera pulang. Oiya, Reiner, kamu aku beri tanggung jawab untuk membagi jatah mereka sesuai dengan kesepatakan awal. Jangan kau kurangi dan jangan kau tambahkan sedikitpun. Jangan lupa juga, selama anakku di sini, kalian jangan datang ke rumah. Nanti aku yang akan menghubungi kalian. Mengenai pekerjaan selanjutnya nanti kita bicarakan kembali. Aku pergi dulu ya. 
Reiner                 :  Iya bang. Percayakan saja padaku, aku bisa mengatur ini semua. Hati-hati di jalan bang.
                              Ayo sini kumpul. Aku mau bagi pendapatan. Ingat, jangan ada komplain mengenai pendapatan hari ini. Pendapatan hari ini berdasarkan kerja keras semua. Kalau jumlahnya kurang berarti kerja keras kita masih kurang. Ingat, jangan sesekali menyalahkan pendapatan hari ini. (anggota yang lain membentuk lingkaran dan membagi jatah masing-masing)
Sabam                : Bang, jangan lupa istriku juga dapat bagian. Jadinya aku dapat dua jatah.
Reiner                 : Iya, aku tidak akan lupa. rewel betul kau. Tunggu Sebentar. Sabam ini bagianmu dengan istrimu. Tenang saja jumlahnya tidak akan dikurangi sedikitpun. Aman, ini bagianmu. Kau Tahan, ini bagianmu. Ini buat aku dan yang ini buat Bang Bos. (Seraya membagi-bagi jatah masing-masing)
                              Jatah ini sudah ditentukan bersama, jadi jangan ada komplain ya. Nanti kalian akan aku hubungi lagi. Untuk sementara kalian pulanglah dulu. Berbaur dengan masyarakat seperti biasa dan jangan bertindak yang cukup mencolok. Kalaupun nanti karung goni yang ditinggalkan si Tahan ditemukan atau tidak oleh warga, aku rasa kita harus melupakannya. Terlalu beresiko. Tapi biarlah Bang Bos yang menentukan keputusan mengenani hal itu. Yasudah kalian pulang.
Sabam, Aman langsung pulang setelah mengambil bagiannya. Namun Tahan malah diam dan menghampiri Reiner
Reiner                 : Kenapa kau, Tahan? Kenapa tidak langsung pulang? Apa jatahmu kurang? Hanya itu pendapatan kita dan sudah kubagi sesuai kesepatakan.
Tahan                 : Bukan itu Bang. Aku hanya merasa aneh saja dengan tingkah Bang Bos. memangnya kenapa sih kalau anaknya Bang Bos datang? Sepertinya abang itu benar-benar bingung sampai harus menghentikan rapat malam ini.
Reiner                 : Tahan…, wajar kalau kau tidak tahu. Kau masih sangat baru dalam kumpulan ini. Si Bang Bos tentu saja bingung mendengar anaknya pulang tiba-tiba begitu. Padahal aku tahu kenapa anaknya pulang. Paling-paling dia seperti kebanyakan remaja lain yang baru saja merantau lalu pulang dengan tiba-tiba. Dia hanya ingin memberikan surprise buat orang tuanya. Tahu kau surprise?
Tahan                 : Surprise bagaimana?
Reiner                 : Kau tentu tidak akan mengerti. Surprise itu ialah saat dimana seseorang pulang atau datang dari suatu tempat tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Biasanya ini hanya berlaku bagi seseorang yang sedang merindukan seseorang. Pasti anaknya Bang Bos menyangka kalau ayah dan ibunya sedang merindukan dia. Jadi dia datang secara diam-diam dengan anggapan bahwa orangtuanya akan kaget dan bahagia. Ah, dasar anak muda.
Tahan                 : Lalu, kenapa tadi Bang Bos jadi gelagapan begitu?
Reiner                 : Ya tentu saja gelagapan. Bulan ini kan kita sedang banyak kerjaan. Minggu depan saja kita mau langsung bekerja lagi.
Tahan                 : Itu kan hal yang sudah sangat biasa. Kenapa dia harus jadi gelagapan begitu? Tidak biasanya.
Reiner                 : Kenapa aku harus menjelaskan ini padamu ya? Begini, si Bang Bos tidak mau kalau anaknya sampai tahu mengenai apa yang Bang Bos kerjakan. Kalau istrinya, memang sudah tahu dari dulu. Tapi anaknya tidak pernah tahu. Aku juga tidak tahu bagaimana cara Bang Bos menyembunyikannya sampai anaknya benar-benar tidak tahu begitu. Tapi yang pasti, anaknya tidak tahu mengenai pekerjaan Bang Bos yang ini. Anaknya hanya tahu Bang Bos bekerja sebagai kepala desa. Pastinya kedatangan anaknya yang tiba-tiba ini sangat mengganggu perhatian Bang Bos. Yasudah, kenapa kita jadi membicarakan Bang Bos, kamu tidak pulang? Mau tidur di sini?
                              Ayo sana cepat pulang. Aku harus merapikan tempat ini. Aku juga mau langsung tidur.


Ruang tamu, terlihat maling 1 sedang gusar dan mondar mandir sambil sesekali menatap ke arah jalanan.
Maling 1             : Bodohnya dia. Kenapa dia tiba-tiba pulang begini? Gagal sudah semua rencanaku. Memangnya apa yang dia pikirkan? Kalo mau pulang  seharusnya bilang dari jauh-jauh hari. Biar kita juga ada kesempatan untuk mempersiapkan segala kemungkinannya.
Ibu                      : Harusnya aku sudah tahu kalau dia punya niat mau pulang. Begitu ada kesempatan untuk pulang pasti dia langsung pulang. Aduh, kenapa aku bisa tidak peka begini ya. Pak. Sudahlah jangan sibuk berputar-putar. Sebentar duduk, sebentar berdiri menatap ke pintu. Bapak membuatku semakin gugup juga.
Maling 1             :  Aku juga maunya tenang. Tapi bagaimana bisa tenang? Coba bayangkan, misi kemarin malam saja belum sepenuhnya tuntas, minggu depan aku sudah berencana untuk mengunjungi rumah juragan beras yang ada di desa sebelah. Semua rencana sudah matang. Aku bahkan sudah mengatur agar dia tidak ada di rumah. Aku sudah mengadakan beberapa pertemuan dengannya agar rumahnya bisa kosong. Tapi tiba-tiba anak kita si Indra datang begitu saja. Aku kehabisan ide harus bagaimana sekarang ini.
Ibu                      : Pak, kalau seandainya dia tahu. Bagaimana ya?
Maling 1             :  Tahu apa?
Ibu                      : Ya bapak tahulah apa yang seandainya dia tahu. Kira-kira bagiamana ya?
Maling 1             : Hah, kau ini ada-ada saja. Kenapa kita harus membicarakan ini?  Bukankah kita sudah membahas ini beberapa kali? Si Indra tidak boleh tahu.
Ibu                      : Tapi bagaimana pak kalo sampai dia tahu?
Maling 1             : Bu, apa masih kurang jelas? Aku tidak bisa membiarkan dia mengetahui pekerjaanku. Tapi kalaupun suatu saat nanti dia tahu, aku yakin dia akan mengerti. Kalo hanya mengandalkan pekerjaan sebagai Kepala Desa mana mungkin aku mampu menyekolahkan dia sampai sejauh ini? Lihat saja pemuda-pemuda di desa ini. Lulus SMA saja sudah sangat syukur. Anak kita kuliah bu. Anak kita kuliah dan akan jadi hakim suatu saat nanti.
Ibu                      : Tapi, ada sesuatu yang kadang aku pikirkan pak. Apa kita ini sudah benar dalam mendidik anak?
Maling 1             : Kenapa ibu bertanya seperti itu? Memangnya masih kurang benar bagaimana? Dia kita sekolahkan sampai tingkat kuliah. Sebentar lagi dia akan lulus dan menjadi hakim. Semoga saja dia tidak korupsi. Kalau dia sudah jadi hakim maka aku bisa menjadi kepala desa sesungguhnya. Tidak perlu merampok atau mencuri lagi.
Ibu                      :  Bukan itu. Maksudku aku kasihan dengan dia. Sejak kecil dia selalu jauh dari kita. Sekolah saja selalu di luar kota, selalu ngekost. Aku selalu kepikiran kalau dia kurang kasih sayang dari orangtuanya. Padahal kita masih hidup. Harusnya kita memiliki waktu yang lebih untuk bersama dengannya. Sekedar bercengkrama seperti anak-anak tetangga lainnya itu lho pak. Aku rasa kita terlalu keras sama dia.
Maling 1             : Tidak bu. Kamu mau dia menjadi seperti pemuda kampung-kampung ini? Tidak kan? Yang hanya bisa nongkrong di warung, menjadi pengangguran atau membantuku merampok. Tidak bisa. Dia tidak bisa menjadi seperti pemuda di kampung ini. Dia anakku, dia harus menjadi orang yang paling sukses. Setiap kesuksesan memiliki harga yang mahal untuk dibayar. Dan untuk anak kita, harga yang harus dibayar ialah jauh dari dari orang tuanya. Lagipula kalo dia dekat denganku atau tinggal di rumah ini, tentunya dia kan tahu pekerjaanku. Sepintar apapun aku menyembunyikan pekerjaanku, kalau setiap hari dia ada di sini, tentu dia akan tahu kalau ayahnya adalah seorang maling. Dan aku tidak mau dia memiliki ayah seorang maling. Haduh dia sudah sampai di mana ya.
Ibu                      : Tapi aku tidak bisa selalu ketakutan begini setiap kali dia pulang. Aku selalu membayangkan kalau kalian ketahuan saat merampok dan dihakimi massa. Aku selalu menakutkan itu Pak. Setiap malam saat kalian pergi menjarah rumah orang, aku tidak bisa tidur tenang. Seandainya kalian ketahuan merampok, tentu si Indra juga akan tahu dan aku yakin itu akan sangat membuatnya malu dan marah. 
Maling 1             : Ibu, sudahlah. Jangan kau berfikir seperti itu. Setiap pekerjaan ada resikonya. Jangankan merampok, petani, pedagang, penggembala bahkan pengangguran sekalipun memiliki resiko. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Banyak-banyak berdoa bu agar aku selalu sehat dan tidak ketahuan. Lagipula kalau aku tidak merampok bagaimana bisa aku membiayai kualiah si Indra. Uang kuliahnya begitu besar. (tiba-tiba ada yang mengetok pintu, terlihat Indra memasuki ruangan dengan memakai ransel besar)
Indra                  : Pak, ibu. Hehehhee. Kalian pasti tidak menyangka aku pulang kan? Hahahhaha apa kabar kalian?
Maling 1             : Indra? (pura-pura kaget) Kamu kok ada di sini?  Kamu tidak kuliah?
Ibu                      : Iya, kamu kok ada di sini? Ibu benar-benar tidak  menyangka kamu pulang. (pura-pura kaget juga)
Indra                  : Hahahaha, berada di rumah selalu menyenangkan ya. (seraya memeluk ayah dan ibunya) Pak, bu, aku bawain oleh-oleh nih.
Ibu                      : Kamu duduk dulu. Kamu pasti capek. Kok pulangnya dadakan?
Indra                  : Iya, aku ingin membuat surprise. Ibu kaget kan? Ibu benar-benar tidak tahu kalau aku akan pulang hari ini kan?
Maling                : Indra, jangan dibiasakan seperti ini ya. Coba kalau seandainya aku dan ibumu sedang tidak ada di rumah dan kamu tidak bisa masuk ke rumah. Hayo bagaimana kalau begitu? Jangan dibiasakan yah. Jangan suka membuat kaget orang tua. Bagaimana kuliahmu?
Indra                  : Iya, iya tidak akan diulangi lagi kok. Lagipula kalian mau kemana kalau tidak di rumah? Hayoo mau bulan madu lagi? Sudah terlalu tua untuk bulan madu, hehehehe.
Maling                : Ditanya gimana kuliahnya ko malah ngomongin bulan madu, pertanyaan bapak bukannya dijawab.
Indra                  : Iya, iya pak. Gitu aja langsung marah, malu ya, hahahahaha
                              Sebentar lagi aku bakal lulus, pak. Aku sedang skripsi sekarang. Kalau tidak ada halangan 3 bulan lagi akan sidang, dan kalau sidangnya lancar aku akan lulus semester ini. Aku akan menjadi hakim. Semoga aku bisa ditempatkan di desa kita ini. Aku ingin menghukum maling-maling yang katanya belakangan ini semakin marak. Memangnya benar, pak? Tadi saja sewaktu aku menunggu becak untuk pulang ke sini, orang-orang sedang ramai membicarakan maling. Katanya rumah Pak Luhut yang kemalingan. Kasihan dia.
Maling 1             : Ah, omongan orang jangan kau dengarkan. Pada dasarnya si Luhut itu memang pelit. Bukan hal yang aneh kalau dia kemalingan. Aku yakin itu hukuman atas rasa pelitnya.
Indra                  : Bapak kok aneh, orang kemalingan bukannya dikasihani malah dibilang hukuman.
Maling 1             : Bukan begitu Indra, kamu kan harusnya tahu kalau bapak tidak bermaksud begitu. Yang bapak maksud, ya jadi orang jangan pelit-pelit nanti kena tulahnya sendiri. Kamu juga tidak boleh pelit-pelit makanya, Cuma begitu ko.  Lagian ngapain kita jadi ngomongin begitu? kamu udah makan? Ayo makan dulu. Ma, anaknya dikasih makan dulu, dia pasti lapar itu. Masa baru pulang dibiarin aja begitu.
Indra                  : Tuh kan, ngeles deh. Gini nih kalo udah kalah debat pasti nyuruh makan. Liat deh Ma, si Papa selalu begini kan? hahahahahah
Maling 1             : Ya bukan begitu, kamu kan capek habis jalan jauh baju belum juga diganti, belum juga mandi. Sebagai Bapak yang baik, hehehehe ya saya menyarankan kamu makan, begitu doang, tapi ya cuci muka sama kaki dulu sebelum makan. Bau keringat.
Indra                  : Iya deh iya, Indra mandi dulu. Tapi kita makan bareng ya, Indra kangen makan malam bareng. Ibu masak apa?
Ibu                      : Ya masak biasa, coba kamu kabari mau pulang, ibu kan bisa persiapan masak yang enak. Yaudah kamu mandi sana, ibu siapin makan malam dulu. 
Indra pergi menuju kamar mandi, ibu sibuk mempersiapkan makan malam sementara Maling 1 membuka oleh-oleh yang dibawa si anak
Maling 1             : Ini makanan apa ya bu? Enak lho, makanan zaman sekarang banyak ya.
                              Dulu orang kalau bawa oleh-oleh ya paling buah-buahan. Enak lho bu, nih coba deh.
Ibu                      :  Enak gimana sih Pak? Ibu ga begitu suka makanan-makanan kota. Ibu demennya makanan biasa aja
Maling 1             : Coba dulu nih, enak nih, (sambil mencoba nyuapin si ibu)
Ibu                      : Apaan sih pake suap-suapan segala (tapi menerima suapan dari si ayah)
                              Iya ya, ko enak ya, hihihi
                              Sisain tar buat tetangga, enak nih
Maling 1             : Ya jangan, yang ini jangan dikasih buat tetangga, ini enak. Cari yang ga enak aja buat tetangga. Ini kali ni yang bisa dikasih ke tetangga (membuka bungkus makanan yang lain dan mencicipi)
                              Eh jangan deh, ini juga enak.
Ibu                      : Ya kalo ga enak ngapain dikasih ke tetangga, kan malu. Ngasihnya itu justru yang enaklah
Maling 1             : Ya maksudnya, kalo enak ya kasihnya dikit aja. Mending buat kita aja yang kalo enak.
                              (terdengar suara pintu diketuk, maling 1 memberi tanda agar si ibu membuka pintu)
Ibu                      : (berjalan ke arah pintu) yaah si bapak dari dulu kalo mengenai makanan selalu begitu, perut udah makin besar itu pak, kaya orang hamil.
                           (membuka pintu)
                           Tahan? Kamu kenapa ke sini? Wajah kamu kenapa bengkak-bengkak begitu?
Maling 1             : (berhenti makan) si Tahan?
                              (melihat ke arah pintu, Tahan masuk dengan muka lebam dan baju yang sedikit acak-acakan/ robek di beberapa bagian., terlihat Tahan memegang karung goni besar)
                              Tahan, kau kenapa?
Tahan                 : (Menangis)
                              Bang, maaf bang.
Maling 1             : (Suara dipelankan) Muka kau kenapa? Kenapa kau datang ke sini? Kau tahu kan si Indra lagi di rumah. Memangnya si Rainer ga ngasih tau kalau kalian tidak boleh ke sini? Kenapa kau bawa goni?
Tahan                 : Maaf bang. Aku ga sengaja
Maling 1             : (marah, namun menahan suara, takut terdengar oleh Indra)
                              Maaf kenapa kau? Besok saja kau ke sini. Anakku sedang mandi, nanti dia dengar. Ini goni yang hilang itu? Kenapa kau ambil? 
Ibu                      : Pa, jangan marah dulu, ngobrolnya di teras aja biar ga kedengeran sama si Indra
Maling 1             : Tahan, Tahan ada apa lagi kau ini, ayo di luar aja (menarik tangan Tahan ke arah teras)
Tahan                 : (tidak mau bergerak) tidak bisa bang.
                              Maaf bang.
Maling  1            : (Sedikit membentak) Maaf kenapa? Dari tadi kau maaf-maaf saja
Tahan                 : Maaf aku tidak mendengarkan omongan abang dan Rainer.
                              (menangis) Aku dan Aman pergi mengambil goni yang ketinggalan bang.
                              Kata si Aman, dia butuh uang cepat untuk biaya pengobatan ibunya.
                              Ternyata si Unan dan si Agus menunggui karung goni itu bang. Mereka bersembunyi dan menunggu orang yang akan mengambil goni itu. Aku dan si Aman tidak menyadari kalo mereka ada di sekitar tempat itu, kami terlalu gembira karena goni dan isinya masih ada di sana. Si unan dan beberapa warga langsung menangkap dan memukuli kami.
Maling 1             : Si Aman mana? Lalu bagaimana kau bisa kabur? Kenapa kau kabur ke sini? Kenapa tidak ke tempat lain. Kau harus lari dari desa ini, malam ini juga. Kau pergi ke Medan, aku masih punya banyak teman di sana. 
                              Aku akan sediakan ongkos untukmu. Mereka tidak tahu tentang aku kan?  Tunggu sebentar aku hubungi temanku di Medan sana. (mengambil telp)
Tahan                 : Aku tidak kabur bang.
Ibu                      : (menangis) Ya Tuhaaan,  bagaimana ini.
Tahan                 : Bang, aku tidak kabur
Maling 1             : (berhenti, tidak jadi menelepon) kau tidak kabur? Maksudmu?
Tahan                 : (menangis) Iya aku tidak kabur. Setelah mereka memukuli aku dan Aman, si Aman mengaku siapa saja yang terlibat. Mereka sudah menangkap semua bang. Sabam, dan Bang Reiner.
                              Mereka menyuruhku ke sini bang. Mereka tidak berani langsung menangkap abang. Mereka segan untuk menangkap abang secara langsung. Mereka menyuruh aku untuk meberitahu kepada abang kalau kita sudah ketahuan.
                              Aku tidak bisa ke Medan bang. Beberapa warga ada di luar. Mereka menunggu kita (Indra keluar dari kamar mandi, menatap ayah dan ibu bergantian)
Maling 1             : (terisak) Indra, maafkan ayah. (salah seorang warga masuk)
Warga 1              : (dengan takut-takut) Pak kepala desa, maaf. Warga menunggu bapak di luar
(terdengar teriakan dari luar)
Warga 2              : Tarik aja, tarik. Namanya maling ya maling
Maling 1             : (ke Indra) Maafkan bapak nak.


Tamat

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...