Seorang anak yang sedang
sibuk bermain layangan tiba-tiba kehilangan ingusnya. Tidak ada yang tahu pasti apa alasan di balik semua
ini. Tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan. Intinya hilang begitu saja.
Si anak pulang dengan
langkah gontai tanpa semangat. Sedikit
aneh buatnya, biasanya selalu ada cairan atau lender yang selalu berdiam diri
di dalam hidungnya. Menjulur pelan-pelan sedikit malu dan ketika hendak menyentuh
bibirnya akan ada satu tarikan dasyat yang menyentak dan mengembalikannya ke
peraduannya di dalam hidung si bocah. Walau pada dasarnya tidak selalu
demikian, terkadang si ingus kecil sempat menginjakkan kaki perlahan di bibir
dan memberi sensasi asin, tapi lagi-lagi itu hanya sementara karena aka nada
satu tarikan dasyat diikuti slurupan lalu si ingus tersentak kaget ke dalam
hidung. Selalu seperti itu. Begitulah cara mereka bercanda.
Kemanapun si bocah pergi,
kesitupulalah si ingus berada. Kehilangan ingus membuat si anak merasa hampa.
Dia tidak menangis. Hanya terdiam. Rasa sedihnya sangat besat dan tidak akan
mampu dibayar oleh beberapa tetesan air mata. Hidupnya kini hampa seolah tanpa
arah dan tujuan.
Hampir setiap hari dia
hanya duduk termangu di teras rumah atau terkadang di halaman rumah atau
terkadang juga di tempat tidur. Bahkan saat makanpun dia menghayal. Sangat
sering dia mengkhayal, saking seringnya mengkhayal di dalam khayalan pun dia
masih mengkhayal, mengkhayalkan ingus lucunya yang telah menghilang.
Melihat hal tersebut,
Bapak si anak merasa kasihan dan memanggilnya. “Belakangan ini kamu terlihat
sangat sedih. Tampaknya kehilangan telah membuat kamu sangat terluka. Kebetulan
bapak masih ada sedikit ingus. Memang tidak begitu lucu seperti punyamu yang
dulu tapi hanya ini yang bapak miliki.
Walau dengan sedikit
berat hati, si Bapak mencabut ingusnya sendiri. Si ingus tentu tidak tinggal
diam. Dia berusaha melawan dan meronta. Berpegangan erat pada kumis-kumis yang
panjang menjuntai. Si bapak tidak mudah menyerah. Dengan sekuat tenaga dia
menghembuskan nafas ulang-ulang hinga mukanya memerah dan urat-urat di
kepalanya menggembung.
“Keluar kau ingus sialan.
Hmmp hmmp. Keluar kau ingus laknak”
Si ingus yang semakin
lama semakin lemas hanya bias bergantung di lobang hidung si bapak sementara
kakinya sudah menjuntai lunglai di antara kumims tak beraturan.
‘Jangan, tolong jangan
usir kami. Ini tempat kami dari lahir. Kami bahkan sudah puluhan tahun di sini.
Tolonglah, kenapa kau benci kami. Jangan maki-maki kami”
Tapi si ayah sudah bulat
tekad. Tidak ada rintihan atau tangisan yang mampu menghentikannya.
“Keluar kau ingus sialan.
Ini semua demi anakku” Hmmph hmmph plung.
Lemas tak berdaya si
ingus jatuh lemah lunglai di tanah.
Sambil tersenyum, si ayah
memungutnya dan dengan penuh kasih memasukkannya ke hidung si anak
Kini si anak punya ingus
sendiri.
Girang dan bahagia si
anak berlari keliling rumah merayakan ingus barunya serta memamerkan pada
teman-temannya.
Namun alang tak dapat
ditolak, si ingus sudah sangat lemas. Dia kerap jatuh dan jatuh. Si ingus sudah
tidak sekuat yang dulu.
Sesekali si bocah
memungutnya namun karena keseringan jatuh, si bocah pun akhirnya membiarkan dia
begitu saja diantara rerumputan.
Si ingus sendiri. Kesepian, terlantar. Kedinginan. Terbuang,
terseok-seok menuju perempatan lampu merah dan dia pun mulai mengemis untuk
menyambung hidupnya.