Tuesday 25 July 2017

Si Anak dan Ingus Lucu


Seorang anak yang sedang sibuk bermain layangan tiba-tiba kehilangan ingusnya. Tidak  ada yang tahu pasti apa alasan di balik semua ini. Tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan. Intinya hilang begitu saja.
Si anak pulang dengan langkah gontai tanpa  semangat. Sedikit aneh buatnya, biasanya selalu ada cairan atau lender yang selalu berdiam diri di dalam hidungnya. Menjulur pelan-pelan sedikit malu dan ketika hendak menyentuh bibirnya akan ada satu tarikan dasyat yang menyentak dan mengembalikannya ke peraduannya di dalam hidung si bocah. Walau pada dasarnya tidak selalu demikian, terkadang si ingus kecil sempat menginjakkan kaki perlahan di bibir dan memberi sensasi asin, tapi lagi-lagi itu hanya sementara karena aka nada satu tarikan dasyat diikuti slurupan lalu si ingus tersentak kaget ke dalam hidung. Selalu seperti itu. Begitulah cara mereka bercanda.
Kemanapun si bocah pergi, kesitupulalah si ingus berada.  Kehilangan ingus membuat si anak merasa hampa. Dia tidak menangis. Hanya terdiam. Rasa sedihnya sangat besat dan tidak akan mampu dibayar oleh beberapa tetesan air mata. Hidupnya kini hampa seolah tanpa arah dan tujuan.
Hampir setiap hari dia hanya duduk termangu di teras rumah atau terkadang di halaman rumah atau terkadang juga di tempat tidur. Bahkan saat makanpun dia menghayal. Sangat sering dia mengkhayal, saking seringnya mengkhayal di dalam khayalan pun dia masih mengkhayal, mengkhayalkan ingus lucunya yang telah menghilang.
Melihat hal tersebut, Bapak si anak merasa kasihan dan memanggilnya. “Belakangan ini kamu terlihat sangat sedih. Tampaknya kehilangan telah membuat kamu sangat terluka. Kebetulan bapak masih ada sedikit ingus. Memang tidak begitu lucu seperti punyamu yang dulu tapi hanya ini yang bapak miliki.
Walau dengan sedikit berat hati, si Bapak mencabut ingusnya sendiri. Si ingus tentu tidak tinggal diam. Dia berusaha melawan dan meronta. Berpegangan erat pada kumis-kumis yang panjang menjuntai. Si bapak tidak mudah menyerah. Dengan sekuat tenaga dia menghembuskan nafas ulang-ulang hinga mukanya memerah dan urat-urat di kepalanya menggembung.
“Keluar kau ingus sialan. Hmmp hmmp. Keluar kau ingus laknak”
Si ingus yang semakin lama semakin lemas hanya bias bergantung di lobang hidung si bapak sementara kakinya sudah menjuntai lunglai di antara kumims tak beraturan.
‘Jangan, tolong jangan usir kami. Ini tempat kami dari lahir. Kami bahkan sudah puluhan tahun di sini. Tolonglah, kenapa kau benci kami. Jangan maki-maki kami”
Tapi si ayah sudah bulat tekad. Tidak ada rintihan atau tangisan yang mampu menghentikannya.
“Keluar kau ingus sialan. Ini semua demi anakku” Hmmph hmmph plung.
Lemas tak berdaya si ingus jatuh lemah lunglai di tanah.
Sambil tersenyum, si ayah memungutnya dan dengan penuh kasih memasukkannya ke hidung si anak
Kini si anak punya ingus sendiri.
Girang dan bahagia si anak berlari keliling rumah merayakan ingus barunya serta memamerkan pada teman-temannya.
Namun alang tak dapat ditolak, si ingus sudah sangat lemas. Dia kerap jatuh dan jatuh. Si ingus sudah tidak sekuat yang dulu.
Sesekali si bocah memungutnya namun karena keseringan jatuh, si bocah pun akhirnya membiarkan dia begitu saja diantara rerumputan.
Si ingus sendiri.  Kesepian, terlantar. Kedinginan. Terbuang, terseok-seok menuju perempatan lampu merah dan dia pun mulai mengemis untuk menyambung hidupnya.  


Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...