Perlu
diketahui, saya adalah orang yang buta arah, suka parno, dan dulu, saya sering
tidak berani mengambil resiko. Saat masuk bengsas dan ikut proses
‘Tokoh-tokoh’, saya kehilangan hal-hal itu sedikit demi sedikit. Walaupun
sampai sekarang saya tetap buta arah (Suer deh. Lewat satu jalan beribu kali,
tetep ga ngerti itu ada dimana). Makanya saya sangat kesulitan ketika diterima
di UNJ karena rumah saya ada di Bekasi dan sejak dulu sekolah saya selalu dekat
dari rumah. Awal masuk bengsas, saya jarang masuk karena faktor jarak dan
faktor males. Tapi lama-kelamaan saya kehilangan faktor-faktor yang nggak
penting itu.
Itu sekedar
Intermezzo.
Tadinya,
setelah pementasan perdana angkatan 2013, saya sudah bertekad tidak akan ikut
proses Alogo. Saya merasa tidak enak dengan orang tua karena selalu pulang
larut malam, saya merasa perlu hiatus dan istirahat, dan sialnya, sedang ada
geng motor nggak penting yang berkeliaran di sekitar daerah tempat tinggal
saya. Mereka menyerang orang-orang yang tidak bersalah. Beritanya, mereka
seenaknya dengan random membacok dan menyiram air keras. Malika yang suka parno
pun kembali hadir. Maka sudah tak ada alasan untuk ikut proses Alogo.
Tapi setelah
mendengar ocehan teman-teman bengsas yang seangkatan, saya merasa tidak sanggup
untuk tidak ikut proses. Lagipula, saya sangat merindukan suasana latihan. Saya
merindukan teman-teman dan kakak-kakak bengsas. Saya merindukan semuanya. Maka
setelah seminggu tertinggal latihan Alogo, saya memutuskan untuk kembali ikut
dalam proses. Sudah saya bilang, saat saya masuk bengsas, saya kehilangan
sebagian hal-hal negatif pada diri saya sedikit demi sedikit. Saya jadi lebih
berani mengambil resiko. Saya sudah tidak peduli pada geng motor dan tetek
bengeknya. Lagipula mereka sudah lama tidak terdengar kabarnya. Dan saya selalu
yakin, dibalik usaha keras, tak ada satupun yang sia-sia.
Keputusan
saya tidak membawa penyesalan. Proses Alogo memang menyenangkan (dan menyiksa
fisik saya yang penuh lemak). Saya sangat senang mengikuti latihan dan ikut
proses bersama para senior. Walaupun nantinya proses akan berdarah-darah, tapi
setiap sudut tubuh dan jiwa saya saling mendorong dan berkata bahwa saya siap.
Latihan koreo prajurit sangat menarik dan walaupun tubuh kami masih kaku, saya
yakin nantinya adegan ini pasti keren. Latihan sangat menyenangkan walaupun
harus bolak-balik memanjat pagar (dan itu euforia tersendiri).
Hari ini,
bengsas diberi ‘peringatan’ kasar. Pendopo FIP, tempat kami latihan sekarang,
kini dicabut listrik dan lampunya. Entah oleh siapa. Saya tidak mengerti jalan
pikiran orang yang bertindak seperti itu. Jika ada yang tidak suka dengan kami,
mengapa memilih untuk memberitahu dengan cara seperti itu? Merokok dibebaskan, pengemis dibiarkan masuk, sampah menumpuk dianggap
wajar, lalu mengapa berkarya saja dihalangi? Sastra sudah direndahkan. Dan hal
yang paling direndahkan dari sastra adalah teater. Toh, ini hidup kami. Karena
peristiwa itu, kami tidak bisa latihan dengan nyaman. Akhirnya kami pindah ke
tercil dan latihan disana.
Yah, inilah latihan yang terlambat dan terhambat. Namun semangat tidak
boleh luntur. Dan kami harus terus berkarya apapun yang terjadi. Inilah catatan
pertama saya yang tentu tidak banyak mengandung unsur estetik. Hanya
menyampaikan isi hati dengan jujur. Semoga untuk ke depannya, proses Alogo bisa
berjalan dengan lancar, menyenangkan, dan sukses sebagaimana mestinya J
Malika/Makila/Malaika Tazkia
No comments:
Post a Comment