Monday 26 May 2014

Dialog Kertas

Tak seperti biasa, aku mati dalam tulisanku. Kucoba untuk menulis, namun hanya kertas kosong dengan pena yang membisu menatapku dengan kaku. Kutatap kembali kertas putih kosong di hadapanku. Dengan harapan yang sedikit gila, aku membayangkan kertas-kertas di hadapanku menulis sendiri, merangkai kata sendiri dan kelak akan tercipta sebuah mahakarya dan aku akan menyatakan bahwa tulisan-tulisan ini adalah milikku. Ya, semua tulisan itu adalah milikku. Kalau ternyata kelak ada orang yang menyatakan bahwa tulisan ini bukanlah milikku melainkan hasil imajinasi dari kertas-kertas hampa dan pena bisu. Maka aku akan berkilah bahwa pena bisu itu milikku, kertas-kertas hampa itu juga milikku. Aku berhak atas apapun yang terlahir darinya Aku juga berhak atas kebisuan-kebisuan yang muncul dari tempat yang semakin kelam ini. Kebisuan yang terlahir saat aku ingin memberikan emosi pada kertas-kertas buramku.Kembali kutatap kertas-kertas hampa di hadapanku. Semakin aku menatapnya, aku semakin menyadari ternyata kertas-kertas itu bukanlah kertas kosong biasa dengan aroma pabrik yang kerap membuatku pusing. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda, namun aku tidak tahu dimana perbedaannya dengan kertas-kertas lain yang kerap kusapa dengan goresan tinta-tinta kusam berisikan imajinasiku.
Kudengar dengus nafas dari para waktu yang selalu mengawasi diriku. Berharap akan muncul sesuatu yang baru dari goresan-goresan penaku. Namun aku hanya terdiam, dengan pikiran-pikiran yang melancong menuju tempat-tempat yang pernah kusinggahi sebelumnya. Namun aku tidak menemukan kata-kata yang cocok untuk kujadikan kalimat-kalimat dalam kertas-kertas buram yang hendak kujadikan sahabat baruku. Aku terdiam mematung, menatap dinding kamar yang terlihat semakin menyempit dan memaksaku untuk beranjak dari kamar ini. Aku hanya tersenyum menatap dinding kamar yang penuh dengan poster wanita cantik yang kutempelkan beberapa bulan yang lalu.
Dalam masa yang terdiam, aku berbisik kepada para waktu “Bisakah kalian berhenti berdetak sejenak, karena aku sangat menikmati saat ini dan tidak ingin beranjak dari masa-masa ini, aku membutuhkan hening yang tercipta tanpa detakan dari para waktu”. Kali ini mereka tidak memberikan jawaban apapun, mereka hanya terdiam mentapku. Tidak seperti biasa, tatapan mereka kali ini terlihat menyeramkan, namun aku tidak tahu dimana sisi yang menakutkan dari pandangan mereka. Aku hanya merasakan ketakutan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Seolah aku terlahir sebagai penakut nomor satu.
Tak sanggup menatap mata para waktu, aku kembali mengalihkan pandanganku pada kertas-kertas buramku yang masih terlihat polos tanpa ukiran tinta dari penaku. Kamar ini terasa sangat penuh dan sesak. Kamar ini dipenuhi para waktu dengan detakannya yang terus menggangguku. Para waktu yang biasanya menjadi sahabatku, kali ini kurasakan menjadi musuh yang selalu mentapku dengan tatapan yang sangat mengganggu.
Kenapa mereka menatapku dengan tatapan yang mengganggu? Aku hanya meminta mereka untuk berhenti berdetak sejenak, memangnya ada yang salah? Anggap saja permintaanku hanya sebuah permintaan dari seorang rekan dan mereka sanggup melakukan semudah membalikkan tangan. Jadi, apa masalahnya? Memangnya mereka tidak merasa jenuh dengan keseharian mereka yang hanya berdetak untuk semua mahluk?
Ah, sudahlah, sebaiknya aku melupakan mereka. Karena mereka hanya waktu-waktu yang bodoh, yang hanya bisa berdetak, entah apa yang bisa mereka lakukan selain berdetak. Sebaiknya aku melupakan para waktu yang selalu menghiasai kamarku detakan-detakan rutinnya.
Sejenak kualihkan perhatianku kembali pada kumpulan-kumpulan kertas buram yang terdiam kaku dimeja belajarku. Sementara pena hitamku kumainkan di jariku. Otakku merenung, memikirkan apa yang hendak kutulis pada kertas-kertas buram ini. Dalam imajinasiku ribuan kata telah mengantri untuk aku hadirkan menjadi nyata. Entah karna kata itu terlalu banyak atau aku yang tidak sanggup memilah-milah kata dalam imajinasiku, maka kata-kata itu tetap menjadi kata-kata dalam khayalan. Tidak satupun dari mereka yang terlahir kedalam dunia nyata sebagaimana yang aku pikirkan dari awal aku memegang kertas buramku.
Bingung dan jenuh dalam suasana yang yang tidak aku sukai, aku mengajak kertas buramku bertukar pikiran. Aku mulai menanyakan, kalimat seperti apa yang dia inginkan dituliskan pada wajah putihnya, cerita seperti apa yang dia inginkan. Aku mulai menginterogasi kertas buramku. Setiap pertanyaanku selalu dijawab dengan lekukan-lekukan yang muncul dari wajah polosnya. Semakin banyak aku bertanya, lekukan-lekukan pada kertasku semakin banyak. Lekukan-lekukan itu semakin membuat dia semakin buram dan lusuh.
Aku menyadari dia semakin lusuh, namun jawaban-jawaban yang diberikan kertas buramku dan obrolan-obrolan yang tercipta terasa sangat menyenangkan dan mengasikkan. Dalam obrolan dengan kertas buramku, aku sanggup melupakan para waktu yang terus mengawasiku. Aku tidak mengindahkan kehadiran mereka dan aku sangat menyukai moment-moment ini. Penaku yang sedari tadi terdiam, ternyata ikut menyukai obrolan kami. Dan tanpa aku sadari dia malah mengobrol denganku....

No comments:

Anugerah

Dari pinggiran trotoar yang kehilangan hangatnya matahari, seorang anak menangis setengah mengigil. Beberapa keping uang receh digenggaman...