Tak seperti biasa, aku mati dalam tulisanku. Kucoba untuk menulis,
namun hanya kertas kosong dengan pena yang membisu menatapku dengan
kaku. Kutatap kembali kertas putih kosong di hadapanku. Dengan harapan
yang sedikit gila, aku membayangkan kertas-kertas di hadapanku menulis
sendiri, merangkai kata sendiri dan kelak akan tercipta sebuah mahakarya
dan aku akan menyatakan bahwa tulisan-tulisan ini adalah milikku. Ya,
semua tulisan itu adalah milikku. Kalau ternyata kelak ada orang yang
menyatakan bahwa tulisan ini bukanlah milikku melainkan hasil imajinasi
dari kertas-kertas hampa dan pena bisu. Maka aku akan berkilah bahwa
pena bisu itu milikku, kertas-kertas hampa itu juga milikku. Aku berhak
atas apapun yang terlahir darinya Aku juga berhak atas kebisuan-kebisuan
yang muncul dari tempat yang semakin kelam ini. Kebisuan yang terlahir
saat aku ingin memberikan emosi pada kertas-kertas buramku.Kembali
kutatap kertas-kertas hampa di hadapanku. Semakin aku menatapnya, aku
semakin menyadari ternyata kertas-kertas itu bukanlah kertas kosong
biasa dengan aroma pabrik yang kerap membuatku pusing. Ada sesuatu yang
membuatnya berbeda, namun aku tidak tahu dimana perbedaannya dengan
kertas-kertas lain yang kerap kusapa dengan goresan tinta-tinta kusam
berisikan imajinasiku.
Kudengar dengus nafas dari para waktu yang
selalu mengawasi diriku. Berharap akan muncul sesuatu yang baru dari
goresan-goresan penaku. Namun aku hanya terdiam, dengan pikiran-pikiran
yang melancong menuju tempat-tempat yang pernah kusinggahi sebelumnya.
Namun aku tidak menemukan kata-kata yang cocok untuk kujadikan
kalimat-kalimat dalam kertas-kertas buram yang hendak kujadikan sahabat
baruku. Aku terdiam mematung, menatap dinding kamar yang terlihat
semakin menyempit dan memaksaku untuk beranjak dari kamar ini. Aku hanya
tersenyum menatap dinding kamar yang penuh dengan poster wanita cantik
yang kutempelkan beberapa bulan yang lalu.
Dalam masa yang
terdiam, aku berbisik kepada para waktu “Bisakah kalian berhenti
berdetak sejenak, karena aku sangat menikmati saat ini dan tidak ingin
beranjak dari masa-masa ini, aku membutuhkan hening yang tercipta tanpa
detakan dari para waktu”. Kali ini mereka tidak memberikan jawaban
apapun, mereka hanya terdiam mentapku. Tidak seperti biasa, tatapan
mereka kali ini terlihat menyeramkan, namun aku tidak tahu dimana sisi
yang menakutkan dari pandangan mereka. Aku hanya merasakan ketakutan
yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Seolah aku terlahir sebagai
penakut nomor satu.
Tak sanggup menatap mata para waktu, aku
kembali mengalihkan pandanganku pada kertas-kertas buramku yang masih
terlihat polos tanpa ukiran tinta dari penaku. Kamar ini terasa sangat
penuh dan sesak. Kamar ini dipenuhi para waktu dengan detakannya yang
terus menggangguku. Para waktu yang biasanya menjadi sahabatku, kali ini
kurasakan menjadi musuh yang selalu mentapku dengan tatapan yang sangat
mengganggu.
Kenapa mereka menatapku dengan tatapan yang
mengganggu? Aku hanya meminta mereka untuk berhenti berdetak sejenak,
memangnya ada yang salah? Anggap saja permintaanku hanya sebuah
permintaan dari seorang rekan dan mereka sanggup melakukan semudah
membalikkan tangan. Jadi, apa masalahnya? Memangnya mereka tidak merasa
jenuh dengan keseharian mereka yang hanya berdetak untuk semua mahluk?
Ah,
sudahlah, sebaiknya aku melupakan mereka. Karena mereka hanya
waktu-waktu yang bodoh, yang hanya bisa berdetak, entah apa yang bisa
mereka lakukan selain berdetak. Sebaiknya aku melupakan para waktu yang
selalu menghiasai kamarku detakan-detakan rutinnya.
Sejenak
kualihkan perhatianku kembali pada kumpulan-kumpulan kertas buram yang
terdiam kaku dimeja belajarku. Sementara pena hitamku kumainkan di
jariku. Otakku merenung, memikirkan apa yang hendak kutulis pada
kertas-kertas buram ini. Dalam imajinasiku ribuan kata telah mengantri
untuk aku hadirkan menjadi nyata. Entah karna kata itu terlalu banyak
atau aku yang tidak sanggup memilah-milah kata dalam imajinasiku, maka
kata-kata itu tetap menjadi kata-kata dalam khayalan. Tidak satupun dari
mereka yang terlahir kedalam dunia nyata sebagaimana yang aku pikirkan
dari awal aku memegang kertas buramku.
Bingung dan jenuh dalam
suasana yang yang tidak aku sukai, aku mengajak kertas buramku bertukar
pikiran. Aku mulai menanyakan, kalimat seperti apa yang dia inginkan
dituliskan pada wajah putihnya, cerita seperti apa yang dia inginkan.
Aku mulai menginterogasi kertas buramku. Setiap pertanyaanku selalu
dijawab dengan lekukan-lekukan yang muncul dari wajah polosnya. Semakin
banyak aku bertanya, lekukan-lekukan pada kertasku semakin banyak.
Lekukan-lekukan itu semakin membuat dia semakin buram dan lusuh.
Aku
menyadari dia semakin lusuh, namun jawaban-jawaban yang diberikan
kertas buramku dan obrolan-obrolan yang tercipta terasa sangat
menyenangkan dan mengasikkan. Dalam obrolan dengan kertas buramku, aku
sanggup melupakan para waktu yang terus mengawasiku. Aku tidak
mengindahkan kehadiran mereka dan aku sangat menyukai moment-moment ini.
Penaku yang sedari tadi terdiam, ternyata ikut menyukai obrolan kami.
Dan tanpa aku sadari dia malah mengobrol denganku....
No comments:
Post a Comment